Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Bos MIND ID Sebut RI Berpeluang Jadi Penentu Harga Timah Global
21 Juni 2024 9:14 WIB
ยท
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Hendi mengatakan, saat ini ada 47 mineral kritis dan 22 mineral strategis. Pihaknya masih menunggu rencana draf Peraturan Presiden (Perpres) yang mengatur tata kelola mineral kritis dan mineral strategis.
"Kebijakan industri strategis dan mineral krisis strategis menjawab tantangan persaingan geopolitik global yang ketat dalam memenuhi mata rantai pasok hilir di masing-masing negara dunia," ujarnya dalam acara MINDialogue di Soehanna Hall, Kamis (20/6).
Lanjut Hendi, Indonesia memiliki potensi besar dalam pengelolaan mineral kritis dan strategis. Pertama timah, di mana seluruh rantai pasok (supply chain) timah dunia dipegang oleh 3 negara, yaitu China, Peru, dan Indonesia.
Dengan begitu, kata dia, kemampuan Indonesia untuk bisa berpengaruh terhadap kondisi supply chain dunia sangat besar, termasuk menjadi penentu harga mineral tersebut.
ADVERTISEMENT
"Indonesia berpotensi jadi price setter, begitu bisa kalibrasi suplai demand dunia sesuai level produksi dan koordinasi dengan Peru dan China, potensinya sangat besar," tutur Hendi.
Kemudian, komoditas nikel. Hendi menyebutkan, cadangan nikel dunia yang ada di Indonesia mencapai 60 persen, sehingga industri kendaraan listrik Indonesia mempunyai peran penting di masa depan.
"Nikel sendiri Indonesia pasarnya sudah 60 persen dari supply chain dunia, belum lagi kita punya produk turunan lain yang dipakai di EV, seperti cobalt yang merupakan by product nikel, aluminum," jelas Hendi.
Selanjutnya adalah batu bara. Hendi menilai, konsumsi listrik di Indonesia sebesar 1.000 watt per kapita. Sementara untuk kategori negara maju, konsumsi listrik per kapita mencapai 5.000 watt per kapita.
ADVERTISEMENT
"Di sini peran penting batu bara di masa depan suplai keenergian kita," imbuhnya.
Meski demikian, Hendi menyebut Indonesia menghadapi tantangan dalam rantai pasok global, salah satunya kampanye 'dirty nickel' yang digaungkan oleh Australia. Hal ini bisa membuat produk nikel Indonesia tidak kompetitif.
"Kemajuan pertambangan tampak berhasil khususnya nikel, yang membuat negara lain merasa terancam, maka negatif campaign seperti dirty nikel yang diusung negara lain terhadap produk industri nikel Indonesia dikenakan tarif, agar tidak kompetitif, karena geopolitik dan persaingan usaha," ungkapnya.
Selain itu, proses gugatan Uni Eropa atas larangan ekspor nikel Indonesia di World Trade Organization (WTO) juga menjadi tantangan pengembangan mineral kritis dan strategis secara politis.
"Indonesia harus menganut kebijakan yang sama seperti kebijakan politik luar negeri non blok, artinya jangan sampai lebih berat partisan kepentingan timur barat kepentingan, China, tapi open kemitraan yang bisa win-win," pungkas Hendi.
ADVERTISEMENT