BPDPKS Bantah Tudingan Serikat Petani Sawit soal Program B35 Untungkan Pengusaha

9 Februari 2023 19:03 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Eddy Abdurrachman. Foto: Dok. GAPKI
zoom-in-whitePerbesar
Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Eddy Abdurrachman. Foto: Dok. GAPKI
ADVERTISEMENT
Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) membantah tudingan Serikat Petani Sawit (SPKS) soal program B35 yang dinilai menguntungkan pengusaha.
ADVERTISEMENT
"Tidak ada kaitannya antara pungutan ekspor dan subsidi. Itu berdiri sendiri2 itu. Banyak dari perusahaan-perusahaan biodiesel ini bukan eksportir," kata Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Eddy Abdurrachman di Hotel Mandarin Oriental, Kamis (9/2).
Lebih lanjut, Eddy menjelaskan, tidak ada pengusaha minyak di komiter pengarah. Dia menegaskan, komite pengarah hanya terdiri dari delapan menteri. Pengusaha hanya bertugas sebagai narasumber apabila diperlukan, termasuk petani.
"Apkasindo itu termasuk narasumber. Mereka tidak menentukan. Namanya juga narasumber," terang dia.
Serikat Petani Sawit Sebut Wilmar hingga RGE Paling Cuan dari Subsidi Biodiesel
Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mencatat ada sederet korporasi raksasa yang mendapatkan keuntungan yang sangat besar dari subsidi untuk pengembangan biodiesel dari Badan Pengelola Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
ADVERTISEMENT
Sekretaris Jenderal SPKS, Mansuetus Darto, memaparkan berdasarkan Laporan Tahunan BPDPKS pada tahun 2021, penggunaan dana BPDPKS untuk pembayaran selisih harga biodiesel dan solar mencapai Rp 51 triliun atau 97,09 persen dari total realisasi belanja BPDPKS.
Darto menjelaskan, besarnya pungutan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap industri biodiesel berdampak pada tergerusnya harga komoditas kelapa sawit di tingkat petani kecil. Sebab, pungutan atas harga CPO (Crude Palm Oil), mempengaruhi harga CPO lokal yang menjadi referensi untuk merumuskan harga pembelian tandan buah segar (TBS) petani. Namun, hanya segelintir perusahaan kelas kakap yang menikmati keuntungan atas pungutan ekspor ini.
Di sisi lain, lanjut dia, berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, CPO Supporting Fund (CSF) yang dikelola BPDPKS ditujukan untuk program pengembangan kelapa sawit yang berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Program tersebut tidak hanya untuk pengembangan biodiesel, namun juga untuk mendorong penelitian dan pengembangan, promosi usaha, meningkatkan sarana prasarana pengembangan industri, replanting, peningkatan jumlah mitra usaha dan jumlah penyaluran dalam bentuk ekspor, serta edukasi sumber daya masyarakat mengenai perkebunan kelapa sawit.
"Ini bukan uang mereka tapi ini uang yang dimiliki oleh negara karena aturan pendapatan negara masuk ke skema keuangan negara, tidak bisa korporasi mengeklaim ini adalah dananya mereka," tutur Darto saat Peluncuran Laporan Raksasa Penerima Subsidi, B35 Untuk Siapa, Selasa (7/2).
Laporan SPKS pun membandingkan berapa besaran pungutan ekspor yang dilakukan oleh perusahaan dan berapa subsidi yang diterima dari BPDPKS pada tahun 2019-2021.
Mendag Zulhas meninjau tandan buah segar kelapa sawit di pabrik pengolahan kelapa sawit di Lampung, Sabtu (9/7/2022). Foto: Kementerian Perdagangan
"Perusahaan yang paling untung adalah Wilmar, dia itu dipungut kurang lebih hanya sekitar Rp 7 triliun dan dia mendapatkan subsidi Rp 22 triliun, artinya ada sekitar Rp 14 triliun dia memperoleh keuntungan," ungkap Darto.
ADVERTISEMENT
Wilmar merupakan produsen minyak goreng sejumlah merek, mulai dari Sania, Sovia, hingga Fortune.
Kemudian, perusahaan kedua yang mendapatkan keuntungan dari subsidi pengembangan biodiesel BPDPKS adalah Musim Mas. Dia menyebutkan, perusahaan ini memberikan pungutan ekspor Rp 10 triliun dan memperoleh subsidi Rp 11 triliun, sehingga untung Rp 1 triliun. Sunco merupakan salah satu merek minyak goreng dari Musim Mas.
Ketiga, adalah Royal Golden Eagle, perusahaan ini mendapatkan subsidi ketiga terbesar yaitu Rp 6,2 triliun, namun pungutan ekspornya jauh lebih besar sekitar Rp 14,5 triliun. Kemudian Sinar Mas, mendapatkan subsidi biodiesel Rp 5,4 triliun dengan pungutan ekspor sedikit lebih kecil Rp 5,2 triliun.
Sementara itu, Anggota Komisi VI DPR Fraksi Demokrat, Herman Khaeron, menuturkan pada dasarnya pengawasan terhadap pengelolaan dana BPDPKS sangat minim, karena tidak masuk ke dalam ranah Komisi VI maupun Komisi IV.
ADVERTISEMENT
"Sehingga BPDPKS nyaris tidak ada pengawasan secara khusus terhadap pelaksanaanya, karena di bawah langsung Kemenko Perekonomian," kata Herman.
Dengan demikian, menurut dia, pelanggaran terhadap pengelolaan dana BPDPKS semakin rawan karena seolah-olah dianggap bagian dari hak pengusaha. Padahal, dana ini seharusnya diutamakan untuk keperluan lingkungan atau keberlanjutan industri kelapa sawit.
"Sebagian besar digunakan untuk subsidi selisih harga biodiesel, sekali lagi ini saya pastikan adalah pelanggaran keuangan yang sesungguhnya sudah diamanatkan dalam UU, bahwa dana ini bukan untuk subsidi terhadap selisih harga antara biodiesel di pasaran dan produksi dari produsen yang saat ini sangat menikmati," tegasnya.