BPJS Ketenagakerjaan Tekan Angka Kecelakaan Kerja di Sektor Sawit

20 Oktober 2024 11:01 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Direktur Pelayanan BPJS Ketenagakerjaan, Roswita Nilakurnia saat hadir dalam kegiatan Training of Trainers (ToT) keselamatan dan kesehatan kerja (K3) bagi pekerja sektor sawit di Pangkalan Bun, Kalimantan. Foto: dok BPJS Ketenagakerjaan
zoom-in-whitePerbesar
Direktur Pelayanan BPJS Ketenagakerjaan, Roswita Nilakurnia saat hadir dalam kegiatan Training of Trainers (ToT) keselamatan dan kesehatan kerja (K3) bagi pekerja sektor sawit di Pangkalan Bun, Kalimantan. Foto: dok BPJS Ketenagakerjaan
BPJS Ketenagakerjaan sukses menggelar Training of Trainers (ToT) metode pelatihan PAOT (participatory action oriented training) keselamatan dan kesehatan kerja (K3) bagi 400 pekerja sektor sawit di 200 perusahaan di wilayah Sumatera dan Kalimantan.
Bersama dengan International Labour Organization (ILO), kegiatan yang berlangsung di Pangkalan Bun ini sekaligus menutup seluruh rangkaian ToT yang sebelumnya juga digelar di Palembang, Medan dan Riau sejak 18 September 2024.
Direktur Pelayanan BPJS Ketenagakerjaan, Roswita Nilakurnia menyebut, upaya meningkatkan pemahaman para pekerja terhadap keselamatan dan kesehatan kerja (K3) menjadi fokus utama BPJS Ketenagakerjaan dalam meredam tingginya angka kecelakaan kerja di sektor perkebunan.
Roswita menilai pentingnya implementasi K3 di wilayah Kalimantan, khususnya di Pangkalan Bun, sebagai salah satu daerah dengan jumlah perusahaan sawit yang signifikan. Menurutnya, pekerja di sektor ini termasuk yang tinggi dalam terpapar risiko kecelakaan.
"Penting bagi BPJS Ketenagakerjaan untuk memastikan setiap pekerja memiliki kesadaran dan keterampilan yang memadai terkait keselamatan kerja, guna mengurangi angka kecelakaan dan meningkatkan kesejahteraan pekerja secara keseluruhan," ujar Roswita.
Sepanjang 2023, BPJS Ketenagakerjaan mencatat lebih dari 370 ribu kasus kecelakaan kerja, dengan sektor perkebunan sebagai penyumbang terbesar, yaitu 60,5 persen atau sekitar 224 ribu kasus.
Angka ini mengalami peningkatan signifikan dibandingkan 2022, yang mencatat 169 ribu kasus. Selain itu, biaya klaim juga meningkat sebesar 24 persen, dengan total manfaat klaim JKK yang dibayarkan mencapai Rp 3,02 triliun pada 2023, naik dari Rp 2,38 triliun pada 2022.
“Namun, saya ingin menekankan bahwa peningkatan klaim kecelakaan kerja ini bukan sekadar angka nominal. Setiap kasus kecelakaan berdampak langsung pada produktivitas tenaga kerja dan perusahaan," ujarnya.
Ia menjelaskan, pekerja yang mengalami kecelakaan sering kali memerlukan waktu pemulihan yang panjang, yang berarti hilangnya jam kerja dan penurunan efisiensi operasional. Dengan meningkatnya angka klaim, beban finansial bertambah, namun dampak pada produktivitas dan kelangsungan usaha juga sangat signifikan.
"Inilah yang harus menjadi perhatian kita bersama,” ujar Roswita.
Roswita juga menegaskan, salah satu upaya penting dalam menurunkan angka kecelakaan kerja adalah melalui pelatihan ToT K3.
Pelatihan ini bertujuan untuk menciptakan agen-agen perubahan di lingkungan kerja yang mampu menyebarluaskan dan menanamkan budaya K3 secara efektif dan meningkatkan kesadaran pekerja akan pentingnya K3 dan Perlindungan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.
Dengan lebih banyak pekerja yang terlatih dalam praktik K3, diharapkan meminimalisasi potensi kecelakaan di tempat kerja. Hal ini akan meningkatkan keselamatan, produktivitas, dan kesejahteraan secara keseluruhan. Dengan demikian, akan semakin banyak pekerja yang bisa Kerja Keras Bebas Cemas.
Upaya tersebut selaras dengan amanah pemerintah yang termaktub dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2023, yang mewajibkan setiap pemberi kerja untuk melaksanakan langkah-langkah promotif preventif guna melindungi seluruh tenaga kerjanya dari risiko kecelakaan maupun penyakit akibat kerja.
"Kami bangga bahwa rangkaian kegiatan ini berjalan dengan lancar dan berhasil mencetak para pelatih internal yang kompeten, yang akan terus menyebarkan ilmu K3 di perusahaan masing-masing. Semoga hasil dari program ini memberikan manfaat besar dalam menekan angka kecelakaan kerja, khususnya di sektor perkebunan kelapa sawit," ujar Roswita.
Sementara itu, National Coordinator ILO, Yunirwan Gah menyampaikan bahwa selama ini sektor kelapa sawit menjadi salah satu kontributor utama bagi perekonomian nasional dan sumber lapangan kerja bagi sekitar 6 juta pekerja di daerah pedesaan.
Indonesia juga tercatat sebagai produsen dan pemilik lahan kelapa sawit terbesar di dunia dengan luas perkebunan kelapa sawit mencapai 16,8 juta hektare.
Di balik itu, Nirwan juga menyoroti risiko tingginya angka penyakit dan kecelakaan kerja di industri kelapa sawit, bahkan banyak di antaranya yang tidak terdokumentasikan.
"Pekerjaan di perkebunan kelapa sawit, sebagai salah satu subsektor pertanian, memiliki risiko yang tinggi dan tergolong sebagai pekerjaan yang berbahaya. Hal ini membutuhkan kolaborasi dari berbagai pihak untuk menciptakan kondisi kerja yang selamat dan aman bagi para pekerja," tegas Nirwan.
Lebih jauh, pihaknya membeberkan bahwa untuk mengatasi risiko tingginya angka kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja tersebut dapat dilakukan dengan meningkatkan sistem dan implementasi manajemen K3 di perusahaan.
Selain itu, menumbuhkan budaya K3 yang positif, dan secara bertahap serta berkesinambungan mengedukasi pekerja/buruh dan para pihak yang terlibat di perusahaan untuk dapat berkontribusi maupun berkolaborasi.
Metode pelatihan yang diperkenalkan diharapkan dapat digunakan oleh para perusahaan untuk menyebarluaskan pengetahuan tentang K3 kepada para pekerja di berbagai tingkatan melalui partisipasi aktif dalam mengidentifikasi bahaya serta risiko di tempat kerja. Sehingga, pekerja pun dapat berperan aktif dalam mengembangkan rencana aksi perbaikan yang praktis, dan mudah dilakukan.
Nirwan menilai kegiatan kolaboratif antara ILO dan BPJS Ketenagakerjaan ini mampu mendorong sistem kepatuhan sosial yang fokusnya pada K3, dan secara lebih spesifik pada pencegahan penyakit akibat kerja dan penyakit akibat hubungan kerja.
Artikel ini dibuat oleh kumparan Studio