Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Bukan Barang Mewah, Detergen hingga Spare Part Kendaraan Juga Kena PPN 12 Persen
18 Desember 2024 13:59 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN ) menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025 dinilai memberikan efek negatif jangka panjang kepada masyarakat. Sebab, insentif yang diberikan pemerintah hanya beberapa bulan saja, sementara dampaknya bisa lebih lama.
ADVERTISEMENT
Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, menjelaskan kenaikan PPN menjadi 11 persen saja masih berdampak luas bagi banyak barang yang dikonsumsi masyarakat. Sementara mulai 2025, masyarakat harus kembali dihadapkan dengan PPN 12 persen.
“Bahkan deterjen dan sabun mandi apa dikategorikan juga sebagai barang orang mampu? Narasi pemerintah semakin kontradiksi dengan keberpihakan pajak. Selain itu kenaikan PPN 12 persen tidak akan berkontribusi banyak terhadap penerimaan pajak, karena efek pelemahan konsumsi masyarakat, omzet pelaku usaha akan mempengaruhi penerimaan pajak lain seperti PPh badan, PPh 21, dan bea cukai," ujar Bhima dalam keterangan tertulis, Rabu (18/12).
ADVERTISEMENT
Selain itu, paket kebijakan ekonomi pemerintah cenderung berorientasi jangka pendek dan tidak ada kebaruan yang berarti. Dia mencontohkan, insentif diskon tarif listrik 50 persen dan bantuan beras 10 kg hanya berlaku dua bulan.
Bhima mengatakan, pemerintah juga memberikan insentif PPN DTP 3 persen untuk kendaraan Hybrid. Ini semakin membuat kontradiksi, keberpihakan pemerintah ternyata jelas pro terhadap orang kaya karena kelas menengah justru diminta membeli mobil Hybrid disaat ekonomi melambat.
“Harga mobil Hybrid pastinya mahal, dan ini cuma membuat konsumen mobil listrik EV yang notabene kelompok menengah atas beralih ke mobil Hybrid yang pakai BBM. Bagaimana bisa ini disebut keberpihakan pajak?” kata Bhima.
“Pemberian insentif berupa Ditanggung Pemerintah (DTP) bisa dicabut kapan saja dan menimbulkan ketidakpastian tarif PPN barang-barang tersebut kelak. Kebijakan ini justru bisa melanggar UU tentang PPN baik di HPP ataupun UU lainnya. Klaim Sri Mulyani dan Airlangga kenaikan tarif PPN untuk mematuhi UU HPP hanya omong kosong belaka," kata Nailul Huda, Direktur Ekonomi CELIOS.
ADVERTISEMENT
Nailul menjelaskan, dampak kenaikan tarif PPN terhadap pertumbuhan konsumsi rumah tangga juga negatif. Ketika tarif PPN di angka 10 persen, pertumbuhan konsumsi rumah tangga berada di angka 5 persen. Setelah tarif meningkat menjadi 11 persen terjadi perlambatan dari 4,9 persen di 2022 dan menjadi 4,8 persen 2023.
"Diprediksi tahun 2024 semakin melambat.” imbuh Huda.
Secara penerimaan negara, kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen juga tidak akan memberikan kontribusi yang signifikan. Namun, dampak psikologisnya terhadap daya beli masyarakat dan dunia usaha justru berpotensi lebih besar.
Data pertumbuhan pengeluaran konsumen untuk Fast-Moving Consumer Goods (FMCG) yang hanya naik 1,1 persen menunjukkan daya beli masyarakat masih lemah. Kenaikan tarif ini hanya akan memperburuk situasi, terutama bagi kelompok berpenghasilan rendah yang sudah kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari.
ADVERTISEMENT
“Momentum pengumuman kenaikan PPN 12 persen ini juga dinilai tidak tepat, karena dilakukan menjelang libur Natal dan Tahun Baru, saat produsen cenderung menaikkan harga lebih tinggi dari biasanya. Hal ini berpotensi memperburuk beban pengeluaran masyarakat di tengah lonjakan konsumsi akhir tahun," pungkasnya.