Bukan Karena Becek-becekan di Sawah, Ini Alasan Anak Muda Ogah Jadi Petani

19 Agustus 2021 18:39 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi petani. Foto: Dok. BRI
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi petani. Foto: Dok. BRI
ADVERTISEMENT
Petani menjadi profesi yang kurang diminati anak muda di Indonesia. Hal ini terlihat dari kurangnya regenerasi petani. Presiden Jokowi mengatakan 71 persen petani Indonesia berusia di atas 45 tahun, sementara yang di bawah 45 tahun hanya 29 persen.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut diungkapkannya saat membuka pelatihan petani yang digelar Kementan pada Jumat (6/8). Dia meminta generasi muda terjun ke pertanian.
Pemerintah akan membuat profesi ini menjanjikan bagi anak muda. Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengatakan, cara kerja para petani ke depan semakin berbeda karena adanya teknologi. Sehingga peran generasi milenial di sektor pertanian sangat diperlukan.
"Jangan kira bertani itu berbecek-becek lagi saudara, jangan kira bertani itu harus bermatahari kemudian kita menjadi hitam dan lain-lain. Kan sudah ada mekanisasi pertanian dan teknologi pertanian," kata Syahrul saat membuka pelatihan petani bersama Jokowi, Jumat (6/8).
Guru Besar Ilmu Pertanian Institut Pertanian Bogor, Dwi Andreas, mengatakan alasan anak muda enggan jadi petani bukan terletak pada proses harus becek-becekan di sawah. Menurutnya, dari sisi off farm, penerapan teknologi sudah terjadi dan banyak anak muda yang terlibat.
ADVERTISEMENT
Masalahnya, kata dia, ada pada kebijakan harga hasil tani yang kalah saing dengan produk tani impor. Mulai dari beras, kedelai, gula, hingga bawang putih.
Misalnya pada biaya produksi gabah kering petani (GKP) yang mencapai Rp 4,523 per kg berdasarkan kajian Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) pada 2019. Namun, berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 24 Tahun 2020, harga pokok penjualan (HPP) GKP hanya Rp 4.200 per kg.
Contoh lain adalah harga kedelai lokal yang kalah saing dengan harga kedelai impor. Berdasarkan kajian AB2TI, biaya produksi kedelai Rp 10.000 hingga Rp 13.000 per kg, namun harga kedelai impor yang tiba di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta hanya Rp 7.000 per kg.
Petani mengoperasikan aplikasi pada telpon genggam saat menyiram tanaman hortikultura dalam metode smart farming di Desa Gobleg, Buleleng, Bali, Minggu (8/8). Foto: Nyoman Hendra Wibowo/ANTARA FOTO
Kondisi ini berbeda dengan Korea Selatan. Di negara tersebut, kata Andreas, perhatian pemerintah kepada petani kedelai sangat tinggi dengan mematok harga kedelai lokal sekitar Rp 55.000 per kg (jika dirupiahkan). Padahal, harga impornya Rp 7.000 per kg.
ADVERTISEMENT
Negara lain yang peduli dengan harga hasil tani lokalnya adalah India. Menurut Andreas, pemerintah di sana menetapkan 20 komoditas yang harganya berada 150 persen lebih tinggi ketimbang harga impor.
"Kalau di kita, harganya ke harga pasar internasional, ya habis petani kita. Petani kedelai hancur Ketika pemerintah buka impor tahun 2000-an. Lebih mudah impor karena lebih menguntungkan. Jadi IT, pakai drone itu hanya retorika, karena itu tidak menjawab seluruh persoalan," katanya.

Rata-rata Upah Petani Paling Rendah

Alasan lain anak muda enggak melirik profesi adalah upah petani. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2021, rata-rata upah petani berada di posisi 16 dari 17 sektor yang ada di Indonesia, sebesar Rp 1,93 juta per bulan.
ADVERTISEMENT
Posisi rata-rata upah petani ini hanya lebih rendah dari profesi di sektor jasa kesehatan dan lainnya yang dibayar rata-rata Rp 1,67 juta per bulan. Sementara rata-rata upah buruh paling tinggi ada di sektor pertambangan atau penggalian sebesar Rp 4,29 juta per bulan.
Menurut Andreas, jika sampai saat ini para petani yang sudah berumur masih bertahan, karena memang tidak ada pilihan lain. Berdasarkan survei AB2TI, mereka yang masih mau bercocok tanam karena merasa ada kepastian untuk bisa dimakan, bukan untuk menyejahterakan hidupnya.
"Jadi mereka enggak bicarakan lagi apakah menguntungkan atau tidak menjadi petani itu. Mereka sudah betul-betul pasrah. Bertani untuk penuhi kebutuhan makannya saja, bukan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan," kata Andreas.
ADVERTISEMENT