Bukan Milik Petani, 80 Persen Sawah Jakarta Milik Pengembang

19 Juli 2018 15:03 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Lahan sawah milik pengembang properti. (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Lahan sawah milik pengembang properti. (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
ADVERTISEMENT
Kebanyakan orang bakal ternganga jika mengetahui harga tanah di Jakarta. Di daerah pinggirian seperti Rorotan atau Marunda, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara saja, harga pasarannya berkisar antara Rp 4 juta hingga Rp 6 juta per meter.
ADVERTISEMENT
Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Pertanian (DKPKP) DKI Jakarta mengungkapkan, wilayah itu merupakan lumbung padi yang tersisa di Ibu Kota. Secara keseluruhan, di Jakarta Utara masih terdapat 408 hektare sawah atau 71,4 persen dari total luas sawah di Jakarta.
Kalau diasumsikan harga rata-rata tanah di sana Rp 5 juta per meter, maka harga total lahan persawahan itu bernilai lebih dari Rp 20 triliun.
Sementara penghasilan dari bertanam padi di lahan sawah seluas itu, 'hanya' sekitar Rp 12,5 miliar sekali panen atau Rp 25 miliar per tahun. Hitungan itu berasal dari produksi gabah 6,5 ton per hektare yang harganya Rp 4.000 per kilogram. Dalam setahun, sawah tersebut bisa dua kali panen.
Asmadi Seorang Petani di Marunda, Jakarta Utara (Foto: Abdul Latif/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Asmadi Seorang Petani di Marunda, Jakarta Utara (Foto: Abdul Latif/kumparan)
Siapakah pemilik lahan senilai Rp 20 triliun itu, hingga cukup puas dengan penghasilan Rp 25 miliar per tahun? Usut punya usut, sebagian besar yakni sekitar 80 persen lahan persawahan di Jakarta Utara itu dimiliki pengembang properti. Sementara petani yang mengolah sawah, hanya merupakan penggarap.
ADVERTISEMENT
“Iya, dari 408 hektare itu cuma 20 persen yang hak milik warga, selebihnya sudah jadi milik pengembang. Mereka (pengembangnya) sudah membeli sejak dari lama,” kata Koordinator Penyuluh Pertanian Kecamatan Cilincing KPKP Jakarta Utara, Sutrisno kepada kumparan, Selasa (18/7).
Tak mengherankan jika luasan sawah tersebut terus menyusut, karena memang sejak semula dibeli untuk dikembangkan jadi proyek properti. Sementara penggarapan sawah hanya sementara, sebelum proyek properti berjalan.
Data Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Pertanian (DKPKP) DKI Jakarta mencatat, sawah yang ada di Jakarta Utara makin lama makin tergerus secara signifikan. Di tahun 2015, luasan sawah mencapai 460 hektare. Sementara di 2016, luasan sawah menurun menjadi 430 hektare.
100 rumah tapak siap dibangun di Rorotan. (Foto: Fachrul Irwinsyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
100 rumah tapak siap dibangun di Rorotan. (Foto: Fachrul Irwinsyah/kumparan)
“Tahun 2016 itu lahannya 430 hektare, tapi sudah berkurang lagi karena banyak yang dibangun jadi perumahan, ruko, juga rumah susun,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Menurut Sutrisno, petani boleh menanam padi di lahan tersebut merupakan cara pengembang untuk mengamankan lahan agar tak diserobot pihak lain. “Ya itu untuk mengamankan lahan mereka saja. Penggarap sawah itu ya warga setempat, tapi mayoritas orang Jawa (pendatang) yang menggarap,” papar Sutrisno.
Dia menambahkan, petani penggarap lahan tidak diminta untuk menyetor sejumlah uang ketika panen. Namun sebelum petani menggarap lahan terdapat perjanjian, ketika lahan itu diminta oleh sang pemilik, petani harus segera meninggalkan.
“Rata-rata di lahan itu ada pihak keamanannya, petani penggarap harus seizin mereka. Ini untuk sawah yang dimiliki pengembang ya,” ucapnya.
Kepala Sudin KPKP Jakarta Utara, Rita Nirmala. (Foto: Resya Firmansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kepala Sudin KPKP Jakarta Utara, Rita Nirmala. (Foto: Resya Firmansyah/kumparan)
Sementara itu, Kepala Sudin KPKP Jakarta Utara, Rita Nirmala menambahkan, mayoritas dari 20% lahan yang ditanami padi di Jakarta Utara adalah milik Perum Bulog. Dia meyakini, hanya lahan milik Perum Bulog saja yang tidak terancam alih fungsi.
ADVERTISEMENT
“Sebenarnya solusinya kita beli tanah milik swasta. Tapi itu kan mahal, swasta juga belum tentu melepas karena mau mereka bangun,” beber Rita.