Buruh Minta Perusahaan Tak Lagi Pakai Outsourcing Usai MK Ubah UU Cipta Kerja

2 November 2024 15:53 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden KSPI dan Presiden Partai Buruh Said Iqbal saat ditemui di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (2/11/2024). Foto: Fariza Rizky Ananda/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Presiden KSPI dan Presiden Partai Buruh Said Iqbal saat ditemui di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (2/11/2024). Foto: Fariza Rizky Ananda/kumparan
ADVERTISEMENT
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, meminta perusahaan tidak lagi mengandalkan pekerja dari outsourcing usai Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan tentang UU Cipta Kerja.
ADVERTISEMENT
Said Iqbal menyambut perubahan UU Cipta Kerja terkait aturan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) kini tidak boleh melebihi 5 tahun, termasuk jika ada perpanjangan.
Dengan begitu, Said Iqbal meminta agar perusahaan tidak lagi menyerap tenaga kerja melalui outsourcing alias alih daya dengan pihak ketiga. Dia juga berharap Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) memberikan kejelasan terkait batasan outsourcing.
"Kita tunggu, mana jenis pekerjaan yang boleh di-outsourcing. Cepat berhenti. Caranya apa? Berubah jadi karyawan kontrak. Kan masih boleh karyawan kontrak atau PKWT, batasnya juga 5 tahun," tegasnya saat ditemui usai konferensi pers di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (2/11).
Selanjutnya, menurut Said Iqbal, pekerja PKWT yang sudah 5 tahun ini harus diangkat sebagai pekerja tetap alias menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).
ADVERTISEMENT
"Setelah 5 tahun, kalau enggak dibutuhkan, dipecat. Kalau dibutuhkan, diangkatkan yang tetap. Enggak boleh dikontrak lagi," tuturnya.
Sejumlah buruh berjalan sambil membentangkan spanduk saat berunjuk rasa di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Kamis (24/10/2024). Foto: ANTARA FOTO/Fauzan
Selain itu, Said juga menyoroti perubahan terkait struktur upah dan skala upah (SUSU). MK kini mewajibkan pemerintah menyusun SUSU di perusahaan dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas, serta golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi.
Kemudian, lanjut dia, terkait Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang kini wajib melalui diskusi bipartit antara perusahaan dan pekerja/buruh, dan perusahaan wajib membayar upah selama proses perselisihan berlangsung.
"Selama belum ada keputusan Pengadilan Hubungan Industrial atau Labor Court maka harus dibayar upah, dan jaminan sosialnya BPJS nggak boleh diberhentikan. Baik BPJS Kesehatan maupun BPJS Tenaga Kerja," ujar Said Iqbal.
ADVERTISEMENT
Sorotan utama lainnya adalah terkait formula penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP). Terdapat perubahan definisi indeks tertentu alias nilai alfa, yang awalnya sebagai variabel yang mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi dengan memperhatikan kepentingan perusahaan dan pekerja/buruh.
Pasal ini kemudian diubah dengan menambahkan frasa dengan memerhatikan prinsip proporsionalitas untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) bagi pekerja/buruh.
Adapun indeks tertentu yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 51 Tahun 2023 tentang Pengupahan, dipatok dalam rentang 0,1 sampai dengan 0,3 saja. Said menegaskan, perubahan UU Cipta Kerja ini seharusnya otomatis menggugurkan PP tersebut.
"Kata mahkamah, tetap harus memasukkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, indeks tertentunya itu tergantung rundingan. Bisa beda-beda setiap daerah, yang sekarang berlaku 0,1 sampai 0,3. Tapi dengan ada keputusan MK, gugur," tegas dia.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, Said tetap meminta agar formula pengupahan yang ditetapkan nantinya bisa mengakomodasi kenaikan UMP tahun 2025 bisa mencapai 8-10 persen.
"(Kami tetap meminta) 8 persen sampai 10 persen. Inflasi kan sekitar 2,5 persen, pertumbuhan ekonomi sekitar 5,1 persen. Berarti 7,6 persen. Kita udah nombok kemarin 1,3 persen, berarti kan hampir 8,9 persen. Itu logis lho," ungkap Said.