Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
“Oleh karena itu, apa pun bentuk dan strategi pemberian vaksin termasuk pembiayaannya kepada seluruh rakyat menjadi tanggung jawab pemerintah,” kata Presiden KSPI Said Iqbal melalui keterangan tertulisnya, Jumat (21/5).
Said Iqbal memastikan KSPI siap mengikuti program vaksinasi tersebut. Namun, pihaknya mempermasalahkan pemberian vaksin yang dilakukan secara berbayar. Jika ini dilanjutkan, kata Said Iqbal, patut diduga akan terjadi komersialisasi yang hanya akan menguntungkan pihak-pihak tertentu.
“Setiap transaksi jual beli dalam proses ekonomi berpotensi menyebabkan terjadinya komersialisasi oleh produsen yang memproduksi vaksin dan pemerintah sebagai pembuat regulasi, terhadap konsumen dalam hal ini rakyat termasuk buruh yang menerima vaksin,” ujar Said Iqbal.
Said Iqbal menegaskan program vaksinasi berbayar sekalipun biayanya dibayar oleh pengusaha, dikhawatirkan tetap akan terjadi komersialisasi atau transaksi jual beli harga vaksin yang dikendalikan oleh pembuat vaksin.
ADVERTISEMENT
Said Iqbal membeberkan sesuai dalam keputusan yang telah diteken oleh Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pada 11 Mei 2021 dijelaskan harga vaksin gotong royong buatan Sinopharm Rp 321.660 per dosis, di mana tarif pelayanan vaksinasi belum termasuk di dalam harga tersebut.
Tarif pelayanan vaksinasi sebesar Rp 117.910 per dosis. Dengan demikian, jika dijumlahkan total harga sekali penyuntikan Rp 439.570 atau berkisar 800-an ribu untuk 2 kali penyuntikan.
Terkait dengan hal itu, ada beberapa alasan yang menjadi kekhawatiran KSPI kalau vaksin gotong royong akan menyebabkan komersialisasi.
Pertama, berkaca dari program rapid test sereologi, antigen, maupun PCR, mekanisme harga di pasaran cenderung mengikuti hukum pasar. Awalnya pemerintah menggratiskan program rapid test, tetapi belakangan terjadi komersialisasi dengan harga yang memberatkan. Misalnya, adanya kewajiban rapid test sebelum naik pesawat dan kereta api, bertemu pejabat, bahkan ada buruh yang masuk kerja pun diharuskan rapid test.
ADVERTISEMENT
“Akhirnya ada semacam komersialisasi, dari yang awalnya digratiskan. Bahkan perusahaan yang awalnya menggratiskan rapid test bagi buruh di tempat kerja masing-masing akhirnya setiap buruh harus melakukannya secara mandiri (membayar sendiri),” ungkap Said Iqbal.
“Ini yang disebut komersialisasi. Tidak menutup kemungkinan program vaksin gotong royong juga terjadi hal yang sama. Awalnya dibiayai perusahaan, tetapi ke depan biaya vaksin gotong royong akan dibebankan kepada buruh,” tambahnya.
Kedua, kemampuan keuangan tiap-tiap perusahaan berbeda. Said Iqbal memperkirakan jumlah perusahaan menengah ke atas yang mampu membayar vaksin tidak lebih dari 10 persen dari total jumlah perusahaan di Indonesia. Dengan kata lain hanya 20 persen dari total jumlah pekerja di seluruh Indonesia yang perusahaannya mampu membayar vaksin gotong royong tersebut. Berarti hampir 90 persen dari total jumlah perusahaan di seluruh Indonesia atau lebih dari 80 persen dari total jumlah pekerja di Indonesia, perusahaannya tidak mampu membayar vaksin gotong royong.
ADVERTISEMENT
“Maka ujung-ujungnya akan keluar kebijakan pemerintah bahwa setiap pekerja buruh harus membayar sendiri biaya vaksin gotong royongnya. Jika ini terjadi apakah Kadin dan Apindo akan ikut bertanggung jawab? Jangan membuat kebijakan yang manis di depan tapi pahit di belakang bagi buruh Indonesia,” tegas Said Iqbal.
Said Iqbal mengungkapkan jumlah buruh di Indonesia sangat besar. Menurut data BPS 2020 jumlah buruh formal sekitar 56,4 juta orang. Sedangkan buruh informal sekitar 75 juta orang. Dengan demikian, total jumlah buruh di Indonesia ada sekitar 130 jutaan orang. Bayangkan dengan keluarganya, maka total jumlah buruh dan keluarganya mendekati angka 200-an juta.
Menurut Said Iqbal yang menjadi pertanyaan apakah seluruh perusahaan mampu membayar 200-an juta orang (setidaknya 130-an juta buruh) untuk mengikuti vaksin gotong royong. Kalau harga vaksin gotong royong Rp 800-an ribu dikalikan 130-an juta buruh, maka dana yang harus disediakan mencapai Rp 104 triliun.
ADVERTISEMENT
“Jadi ini hanya proyek lip service yang hanya manis diretorika atau pemanis bibir tetapi sulit diimplementasikan di tingkat pelaksanaan. Ujung-ujungnya vaksin gotong royong hanya akan membebani buruh dari sisi pembiayaan,” terang Said Iqbal.
Ketiga, di tengah ledakan PHK, pengurangan upah buruh, dan resesi ekonomi yang saat ini masih mengancam, Said Iqbal merasa tidak mungkin memberikan tambahan beban biaya kepada perusahaan untuk menyelenggarakan vaksinasi gotong royong tersebut. Ia memastikan biaya vaksin gotong royong akan memberatkan perusahaan dan pada gilirannya nanti justru akan menekan kesejahteraan buruh.
Selain itu, jenis vaksin yang digunakan berbeda dengan vaksin yang selama ini diberikan secara gratis oleh pemerintah, Said Iqbal mengingatkan agar buruh tidak dijadikan uji coba vaksin. Dengan kata lain, harus dipastikan vaksin yang digunakan halal dan aman.
ADVERTISEMENT
“Intinya, KSPI mengharapkan kepada pemerintah agar pemberian vaksin untuk buruh digratiskan,” pinta Said Iqbal.
Said Iqbal menyarankan apabila pemerintah membutuhkan anggaran tambahan untuk menyelenggarakan vaksin gotong royong ini, sebaiknya menaikkan sedikit dan wajar nilai pajak badan perusahaan (PPh 25) dan mengambil sebagian anggaran Kesehatan yang dalam UU Kesehatan besarnya adalah 5 persen dari APBN dengan cara melakukan efisiensi birokrasi di bidang kesehatan.