CEO Freeport MacMoRan: Kami Punya Hak Gugat Pemerintah RI ke Arbitrase

20 Februari 2017 13:04 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
CEO Freeport-McMoran Inc, Richard Adkerson. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
PT Freeport Indonesia (PTFI) dan pemerintah Indonesia belum menemukan kata sepakat terkait beberapa poin yang ditolak oleh Freeport di dalam Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Ada dua poin yang Freeport tolak, yakni soal divestasi 51 persen dan soal pajak prevailing.
ADVERTISEMENT
Pemerintah Indonesia dan Freeport sampai saat ini masih melakukan perundingan terkait hal tersebut sampai 120 hari ke depan. Tetapi bila terjadi deadlock atau tidak adanya kata sepakat, Freeport bersiap menggugat pemerintah Indonesia ke Badan Arbitrase.
"Jika enggak bisa menyelesaikan perbedaan itu dengan pemerintah maka Freeport bisa melaksanakan hak-haknya berkaitan dengan perbedaan itu. Hari ini kami belum arbitrase tapi kami memulai proses untuk melakukan arbitrase," tegas CEO Freeport McMoRan Inc. Richard C Adkerson dalam konferensi pers di Hotel Fairmont, Jakarta, Senin (20/2).
Richard mengungkapkan Freeport pada intinya menolak dua poin tersebut meskipun telah setuju mengubah status dari Kontrak Karya (KK) menjadi IUPK. Langkah yang diambil Freeport disebutnya sudah sesuai dengan rekomendasi dan pertimbangan yang diberikan lembaga hukum yang mereka punya.
ADVERTISEMENT
"Pemerintah sudah memberikan izin bahwa memberikan izin ekspor, tapi dalam kondisinya kami menghentikan KK karena beberapa hal yang sangat penting kami enggak bisa menerima hal itu. Untuk mendapatkan kepastian hukum dan fiskal dalam investasi yang besar ini, kami harus dapat kontrak dari pemerintah dan kami percaya ini konsisten dengan peraturan di Indonesia dan konsisten dengan surat dari pemerintah Oktober 2015 yang kita diberi kepastian," paparnya.
Richard Adkerson dan Chappy Hakim. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Menurut Richard, Freeport hanya butuh kepastian hukum guna melanjutkan bisnisnya di Indonesia. Sejak 12 Februari 2017 hingga saat ini, aktivitas ekspor mineral konsentrat dari areal tambang Grasberg, Papua telah dihentikan.
"Hukum dan fiskal yang jelas ini sangat vital untuk keperluan kami beroperasi di Papua dan untuk semua pemangku kepentingan, terutama untuk masyarakat Papua dan karyawan kita. Kita berusaha menghindari dampak negatif terutama pada karyawan dan keluarganya, dan juga masyarakat serta komunitas di Papua dimana kami beroperasi," tekannya.
ADVERTISEMENT
Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 yang dikeluarkan 11 Januari 2017, pemerintah mengizinkan ekspor konsentrat bagai Freeport asal perusahaan tambang tersebut mengubah status dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), membangun smelter, dan divestasi sahamnya sebesar 51 persen kepada pemerintah. Soal keharusan PTFI melepas 51 persen kepemilikan saham, Freeport keberatan. Mereka hanya berkomitmen melepas saham sebesar 30 persen.
Sedangkan Freeport menolak dikenakan tarif pajak prevailing atau tarif pajak mengikuti peraturan, tidak lagi mengikuti tarif nail down atau pajak tetap seperti yang ada di dalam KK. Rinciannya saat rezim KK, pemerintah menetapkan aturan pajak tetap kepada perusahaan dengan tarif PPh Badan 35 persen, royalti PNBP komoditas tembaga 4 persen, emas 3,75 persen, dan perak sebesar 3,25 persen. Sedangkan di IUPK tarif PPh Badan menjadi 25 persen namun ada tambahan lain seperti dividen, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen, dan pajak penjualan (sales tax) sebesar 2,3-3 persen.
ADVERTISEMENT