Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.102.1

ADVERTISEMENT
Ide memang indah, roadmap (peta jalan) perlu pengetahuan, tapi eksekusi butuh keberanian. Sepotong kalimat ini terpampang dalam halaman muka (cover) buku "Leadership in Practice, Apa Kata Asmawi Syam" yang diluncurkan hari ini, Selasa (7/10).
ADVERTISEMENT
Buku setebal 338 halaman ini menceritakan tentang sosok kepemimpinan Asmawi Syam, bankir yang besar di PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI selama 37 tahun.
Dalam buku yang ditulis dirinya bersama Rhenald Kasali, Asmawi Syam berkisah merintis karier sebagai pekerja bank sebagai staf. Pria kelahiran Ujung Pandang, Makassar, ini tercatat sebagai Kepala Cabang Pertama di Masohi, cabang kecil di Pulau Seram, Maluku, Tengah.
Saat itu, usianya baru menginjak 33 tahun. Selama 10 bulan menjadi pemimpin cabang di sana, dia mendapat tawaran untuk ikut seleksi pendidikan S2 di Amerika Serikat.
Asmawi jelas tergiur dengan pilihan tersebut, tapi tidak lama setelah itu, tawaran lain datang. Dia diminta untuk menjadi kepala cabang BRI di Jawa Barat, yakni di Singaparna.
ADVERTISEMENT
"Idealnya itu saya ambil luxury ke Amerika, tapi menjadi kepala cabang di Singaparna," kata dia di JS Luwansa, Jakarta, Selasa (7/10).
Pikir Asmawi kala itu, mendapatkan kesempatan menjadi kepala cabang di Jawa butuh waktu 6-7 tahun. Tapi dia baru menjabat 10 bulan di Pulau Seram, sudah diajak ke Jawa.
Tapi rupanya, kantor cabang di Singaparna bukanlah sebuah kemudahan. Di sana ada masalah antara kepala cabang terdahulu dengan nasabahnya, hingga mengancam fisik si kepala cabang.
Usai ditempatkan di Singaparna, Asmawi langsung membereskan masalah di sana. Dia hanya butuh waktu 10 bulan.
"Tapi justru ini (keputusan memilih menjadi Kepala Cabang Singaparna) adalah step stone yang tepat bagi saya untuk dikenal dengan direksi," lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Sejak saat itu, Asmawi ditempatkan di berbagai kantor cabang kota besar. Tapi umumnya kantor cabang yang memiliki banyak masalah.
Kondisi ini membuat Asmawi terlatih dan mengasah kepemimpinannya. Hingga akhirnya dia bisa ke BRI pusat dan menjadi Dirut BRI pada 1999.
"Saya di BRI ini memang terlalu banyak ditempatkan di tempat banyak masalah seperti di Surabaya. Sampai saya penjarakan bagian operasional saya hingga sekretaris saya. Itu tidak gampang semuanya," jelasnya.
Asmawi meyakini menjadi pemimpin yang lebih baik dibanding yang lain sangat bagus. Tapi kalau seorang pemimpin tak bisa tampil lebih baik, bisa tampil dengan cara berbeda untuk menyelesaikan masalah.
Lebih dari itu, kalaupun tampil berbeda tak bisa, maka satu-satunya jalan adalah keberanian untuk mengambil risiko dalam mengeksekusi tantangan yang ada di depannya.
ADVERTISEMENT
"Beda tapi tanpa eksekusi itu nothing," tegasnya.
Rhenald Kasali, yang ikut menulis buku ini, mengatakan bahwa Asmawi merupakan sosok CEO yang besar bukan karena berada di perusahaan besar sekelas BRI.
Menurut dia, berdasarkan pengalamannya puluhan tahun menjadi bankir hingga menduduki pucuk pimpinan BRI, Asmawi tidak menolak diminta memimpin BUMN kecil seperti Askrindo dan Jiwasraya.
Kerendahan hati Asmawi ini, kara Rhenald, menjadi contoh di tengah hingar bingar CEO baru yang hanya jago di depan panggung, tapi tidak punya kemampuan eksekusi yang bagus. Rhenald menyebut pemimpin tersebut sebagai CEO selebritis.
"Jadi dia besar bukan karena lembaganya. Tapi karena rela menangani BUMN-BUMN kecil ini. BUMN kecil ini butuh CEO besar. Jadi saya lihat Pak Asmawi bisa hidup di mana saja. Bagaimana dia bisa merefleksikan kuda pacu dan sangat sederhana dan buat terkejut semua orang," jelasnya.
ADVERTISEMENT