Cerita Lidya Rinaldi Bangun Bisnis Ekstrak Vanila Halal Lewat La Dame in Vanilla

31 Januari 2021 16:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Lidya Rinadil (kanan) founder La Dame in Vanilla. Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Lidya Rinadil (kanan) founder La Dame in Vanilla. Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
Indonesia dikenal dengan negara yang kaya rempah-rempah sejak belum merdeka. Tapi, ada satu jenis rempah-rempah yang sempat dilupakan bahkan nyaris punah keberadaannya pada 2015, yaitu vanila atau biasa dikenal dengan vanili.
ADVERTISEMENT
Vanila merupakan rempah-rempah yang ekstraknya biasa digunakan untuk olahan kue dan roti. Jenis tanaman ini memiliki bau yang harum dan ringan ketika sudah dikeringkan.
Sayangnya, mencari olahan vanila susah di Indonesia, terutama yang halal tanpa kandungan alkohol. Inilah yang mendorong Lidya Rinaldi memulai ide bisnis ekstrak vanila melalui brand La Dame in Vanilla.
Kepada kumparan, Lidya bercerita mulanya memulai usaha ini karena saat membuat kue usai menonton Asian Food Channel, kesulitan mencari ekstrak vanila. Di toko bahan kue hanya menjual essense vanila. Sedangkan di toko impor, ada ekstrak vanila tapi dengan kandungan alkohol 30 persen di dalamnya.
"Akhirnya saya putuskan bikin sendiri non alkohol. Jadi saya beli vanilla bean di supermarket. Harganya cukup murah saat itu. Saya bikin banyak dan bagikan ke teman-teman, ternyata pada suka," kata Lidya saat dihubungi kumparan, Minggu (31/1).
ADVERTISEMENT
Melihat respons teman-temannya bagus, dia yang dulu masih bekerja di hotel Bali, memutuskan memproduksi ekstrak vanila lebih banyak dengan modal Rp 50 ribu. Sayangnya, ide bisnis itu tidak berjalan mulus. Di tiga bulan pertama, tidak ada yang membelinya.
Menurut pengamatannya, orang Indonesia banyak yang menganggap produk turunan vanila warnanya putih. Sedangkan ekstrak vanila yang aslinya itu berwarna kuning kecoklatan, bahkan agak hitam.
La Dame in Vanilla. Foto: Instagram/@ladameinvanilla
Ekstrak vanila buatan Lidya pertama kali dibeli oleh orang Jerman. Diakuinya, ekstrak vanila dengan warna agak hitam lebih familiar di luar negeri terutama di Eropa yang memang gemar makan roti.
Setelah bisnis ekstrak vanilanya mulai ada pembeli, Lidya harus menelan pil pahit karena sulit mencari bahan baku vanila. Dia sampai mendatangi dinas perkebunan di wilayahnya di Bali hingga naik turun gunung mencari ladang vanila.
ADVERTISEMENT
Informasi yang didapat saat itu, tidak ada lagi petani yang mau menanam vanila karena tidak menguntungkan. Akhirnya dia menemui salah satu petani yang dulu pernah menanam vanila.
"Saya tanya, kenapa enggak ada yang mau tanam lagi? Jawabannya mereka karena enggak laku, enggak ada yang mau beli bahkan Rp 50 ribu pun," kata Lidya.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan, luas areal tanaman vanili milik perkebunan rakyat pada 2012 hanya 19,9 hektar. Pada 2013 turun lagi menjadi 16,6 hektar dan di 2014 hanya 13,6 hektar (angka sementara).
Biji vanili mencapai harga tertinggi pada 2018, yaitu USD 650 per kg. Sedangkan pada tahun lalu, harga biji vanili terkoreksi menjadi USD 200 per kg.
ADVERTISEMENT

Ajak Petani Tanam Vanila, Beli hingga Rp 5 Juta per Kilogram

Karena sudah cinta dengan vanila, Lidya berusaha meyakinkan para petani yang ditemuinya di Jawa Timur untuk menanam kembali komoditas ini dengan pendekatan kekeluargaan. Sebab, Indonesia pernah dikenal sebagai produsen vanila terbesar dunia.
Vanila yang sudah dikeringkan dan diekstrak merupakan rempah-rempah kedua termahal di dunia setelah safron. Karena itu, seharusnya pertanian vanila di Indonesia bangkit lagi.
Selama ini, kata dia, ekspor vanila hanya dalam bentuk bahan mentah (raw material). Sementara di luar negeri, vanila ini diekstrak dan dijual kembali ke Indonesia dengan harga mahal. Karena itu disebut sebagai emas hijau.
"So sad. Jadi saya pikir, i thing it is important untuk kami added value ke vanilla Indonesia. Jadi kalaupun ekspor, bahan mentahnya okelah. Tapi boleh juga dong bikin produk yang kita sudah olah biar punya harga lebih. Jadi enggak ada lagi petani kebingungan menjualnya," ujar Lidya.
ADVERTISEMENT
Karena itu, harga vanila yang dibeli La Dame in Vanilla dari petani selalu di atas rata-rata. Jika dulu harga vanila per kilogramnya Rp 50 ribu pun tidak laku, kini Lidya membelinya dengan harga beragam sesuai permintaan pasar. Dia mengaku pernah membeli mulai dari Rp 750 ribu hingga Rp 5 juta per kg.
"Harganya di atas harga market, kita juga ingin sustain dengan mereka. Jadi kami bangun bisnis ini untuk reviving vanilla Indonesia. Kita punya visi vanila bisa terangkat lagi dengan membeli ke petani dengan harga yang baik," katanya.
La Dame in Vanilla. Foto: Instagram/@ladameinvanilla
Kini, bisnis La Dame in Vanilla yang resmi diluncurkan pada 2016 lalu itu terus berkembang. Berbagai produk dari ekstrak vanila terus dikeluarkan yang dijual ke dalam dan luar negeri. Apalagi di masa pandemi ini, banyak orang yang menjadi chef dadakan.
ADVERTISEMENT
"Kita dulu mulai dari nol. Sekarang omzet rata-rata Rp 300 juta per bulan. Selama pandemi, lumayan banget semua orang chef dadakan, hobi baking dan explore di dapur, makanya kita launch produk baru yang praktis banget buat yang buru-buru masak di dapur," kata Lidya.
Usaha Lidya membangkitkan produksi vanila nasional, mendapatkan apresiasi dengan menjadi pemenang tiga besar di Diplomat Success Challenge (DSC) XI yang diadakan Wismilak Foundation. Dia mendapatkan dana hibah Rp 300 juta.
Dia mengaku banyak belajar dalam kompetisi tersebut, terutama bagi pelaku UMKM untuk #BikinGebrakan dan membangun ekosistem wirausaha Indonesia sejak mendaftar pada 14 Agustus 2020. Apalagi, menurut Lidya, DSC sudah diselenggarakan selama 11 tahun untuk memberikan hibah modal usaha Rp 2 miliar.
ADVERTISEMENT
"Saya banyak belajar dari mentor di sana. Dengan dana hibah itu, kita bikin sejumlah rencana. Target bisnis di tahun ini, kenaikan sales dan kapasitas produksi paling tidak 40 persen," tutur Lidya.