Cerita Nestapa Pengusaha UMKM Kala Corona Melanda

24 Maret 2020 13:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kegiatan produksi konveksi dan sablon UMKM milik Hendro Rahmandani di Kawasan Bekasi, Jawa Barat. Foto: Dok. Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Kegiatan produksi konveksi dan sablon UMKM milik Hendro Rahmandani di Kawasan Bekasi, Jawa Barat. Foto: Dok. Pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pandemi virus corona tak dipungkiri berdampak melumpuhkan berbagai sektor perekonomian di Indonesia. Tak terkecuali, di kalangan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Bukan hanya berimbas pada sulitnya mendapat bahan baku dan mangkraknya produksi, sepinya pembeli hingga utang perbankan yang membelit juga jadi beban tersendiri bagi para pelaku usaha skala kecil menengah ini, dari hari ke hari.
ADVERTISEMENT
Salah satunya, Hendro Rahmandani (33). Pelaku konveksi dan sablon yang ada di kawasan Bekasi, Jawa Barat ini, tengah menanggung nestapa. Bagaimana tidak, bahan baku yang ia perlukan untuk produksi berbagai jenis seragam hingga pakaian kantor itu, kini distribusinya sedang terhenti. Gawatnya, ia pun tak mengetahui pasti jaminan bahan baku yang notabene impor itu kapan bakal dikirim.
“Enggak bisa produksi, katanya sih 2 April 2020 datang (bahan baku), belum ada ketentuan supplier, 2 April kemungkinan buka, tapi belum tentu juga,” ujar Hendro kepada kumparan, Selasa (24/3).
Menyoal susahnya mendapat bahan baku, hendro bercerita, sebetulnya sudah mulai tampak tanda-tandanya kala virus corona baru-baru merebak di Indonesia. Yaitu, sekitar akhir-akhir Februari hingga awal Maret ini. Saat itu, stok bahan baku ia keluhkan mulai tak banyak. Kondisi pun kemudian kian memburuk hingga para supplier yang ada di kawasan Jakarta dan Bandung langganannya mengumumkan untuk sementara tutup.
ADVERTISEMENT
“Terasa banget, kalau sekarang sudah masuk kayak ‘semi lock down’ ya, stok sudah dikit, pas hari Jumat bahkan sudah pada tutup 70 sampai 80 persen di area Jakarta, seperti Tanah Abang. Hari-hari ini udah 80 sampai 90 persen yang tutup,” tuturnya.
Warga menunjukkan hasil produk UMKM binaan Pertamina di bantaran sungai Jambangan, Surabaya, Jawa Timur. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Bahan baku yang tak tersedia ini, kata dia, lantas merembet pada risiko mundurnya penyelesaian produksi pesanan-pesanan yang telah mengantre. Terlebih, sebentar lagi akan memasuki momentum hari raya hingga pergantian tahun ajaran baru sekolah yang mestinya ia bisa mengerjakan berkali-kali lipat produksi dari biasanya.
Jika dihitung-hitung saat kondisi normal, usaha konveksi dan sablon bisa memproduksi tak kurang dari 4.000 hingga 5.000 potong sebulan. Beberapa produk yang biasa ia garap ialah seragam kantor, kemeja untuk formal, hingga seragam untuk gereja dengan jumlah sesuai dengan permintaan pelanggan. Sekali pesan, bisa 72 hingga 430 potong untuk tiap pelanggan.
ADVERTISEMENT
Namun, imbas kondisi pandemi corona ini, pekerjaan yang mestinya sebulan rampung, jadi harus diundur selama paling tidak dua bulan pengerjaan. Kondisi ini pun, bahkan masih bisa serba tak pasti, sebab jaminan ketersediaan bahan baku tak bisa dijanjikan untuk tiap bulan mendatang.
Deadline pasti mundur nih, misalnya (awalnya dijanjikan) akhir Maret, pasti mundur semua, saya sudah komunikasi dan saya minta kebijaksanaan mundur, tanpa harus pinalti (denda) atau turun harga ke pelanggan,” sambungnya.
Meski pelanggan tak sampai kabur atau membatalkan pesanan, Hendro pun menyampaikan, masalah lainnya bukan berarti enyah. Utamanya, soal aliran kas (cash flow) usaha konveksi dan sablonnya yang jadi seret. Sebab, pendapatan dari pelanggan juga sudah pasti bakal mundur, sementara biaya produksi seperti listrik serta cicilan bank hingga gaji sebanyak sembilan karyawannya, mesti tetap dibayarkan.
ADVERTISEMENT
“Anak-anak karyawan seperti tukang jahit, bagian sablon, mereka butuh dapur tetap ngebul istilahnya, mereka perlu transfer ke keluarga, rata-rata kan perantau yang kerja, semingguan kan gajiannya, jadi ketika cair misalnya, langsung ditransfer ke keluarga, kan perlu mikir itu juga,” katanya.
Booth UMKM bantuan dari Mayapada Group di Balai Agung, Jakarta, Jumat (21/2). Foto: Darin Atiandina/kumparan
Di kondisi seperti ini, Hendro pun mengaku mesti putar otak. Salah satunya, ia saat ini tengah mengerjakan pekerjaan selingan dengan membuat masker kain. Idenya pun serba mendadak, tatkala ia menerima beberapa tawaran dari komunitas yang tengah melakukan kegiatan sosial untuk membagi-bagikan masker.
“Bahannya dari mereka, pengumpulan swadaya, mereka warga Depok, yaudah akhirnya, kebutuhan berapa? Saya coba bikin 1.000 walau sebetulnya bahannya enggak nutup, saya juga ada sisa bahan saya bilang gitu, akhirnya produksilah. Yah, setidaknya, juga buat pemasukan ke karyawan (saya) hasilnya, per masker biaya produksi saya patok Rp 1.500, jadi semuanya dapat Rp 1,5 juta. Tapi ada yang minta dibuatin masker untuk dijual, saya nolak, karena memang sebatas mau membantu, ” terangnya.
ADVERTISEMENT
Pria yang kini juga aktif di perkumpulan sosial untuk Lawan COVID-19 ini pun, berharap agar pemerintah bisa memberikan kepastian dan jaminan kebijakan yang membantu UMKM seperti dirinya, agar usahanya tak berguguran. Sebab, dengan omzet yang normalnya ia bisa raup sebesar Rp 100 juta hingga Rp 150 juta per bulan itu, menurun sampai lebih dari setengahnya sementara biaya produksi masih tetap jalan.
Apalagi, dari omzet tersebut, dirinya masih perlu menganggarkan untuk bahan baku mentah sebesar 43 persen, gaji karyawan 15 persen, dan dana tak terduga paling tidak 5 sampai 7 persen. Belum termasuk bunga perbankan yang ia mesti tetap cicil per bulan.
“Sampai saat ini, pemerintah menurut saya belum punya kebijakan pasti, itu yang dikhawatirkan. Konveksi umum sudah ada yang berhenti (produksi), teman saya ada beberapa dikurangin (karyawan), kalau saya prinsipnya gimana mengakali, anak-anak ini kasian juga di kampung, yaudah kerjain apa yang ada yang penting produksi bisa tetap jalan, cuman beberapa konveksi lainnya kan belum tentu gitu,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Kondisi ‘ngos-ngosan’ UMKM juga terjadi pada Ni Luh Dian Purniawati (41). Perempuan yang berdomisili di Bali ini, mengaku bisnis rumahan UMKM di bidang minuman susu almond ini, tengah merosot omzetnya di kala virus corona merebak.
Hotel dan restoran sebagai targetnya mengirimkan susu almond, sedang banyak yang ditutup sementara. Alhasil, ia yang biasanya bisa menyuplai sampai 500 botol susu almond dalam sebulan saat ramai pun, kini mesti gigit jari karena hanya bisa menjajakan sekitar 100-200 botol sebulan.
“Januari masih ramai, Februari kan memang biasanya rada sepi, tadinya aku pikir biasa lah sepi, tapi bulan Maret ini yang terasa banget. Tiap sore kan terima PO (pre-order), tak tungguin, cuma segini aja. Ini paling susah deh. Sebelumnya ada, pas Gunung Agung (meletus) juga memberikan dampak pada usaha, tapi ini (corona) yang paling parah,” ujar Dian saat berbincang dengan kumparan.
ADVERTISEMENT
Dalam pembuatan susu almond yang dijajakan pada kisaran Rp 100 ribu per botol itu, ia memerlukan bantuan dua orang karyawan. Tak elak, saat sepi seperti ini, ia pun mesti mencari akal agar terus mendapatkan pemasukan termasuk juga buat karyawan yang ikut bersamanya.
“Mau enggak mau, saya coba sesuatu yang lain, bikin granola. Karena masih bisa pakai bahan-bahan yang sama kayak susu almond seperti susu dan mente, jadi cookies. Ini lebih mudah kejual, risiko lebih rendah karena barang kering, lebih mudah juga sasaran lokal, tidak mengandalkan tamu, cuma ya masih sebatas pemasarannya ke teman-teman aja,” ceritanya.
Dari situlah, ia mengaku menggantungkan pemasukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya bersama dua karyawannya. Meski pun, ia memiliki sedikit simpanan (saving) dari usaha yang telah ia jalankan selama tiga tahun terakhir itu, namun kondisi ini cukup menjadi pukulan buat pelaku UMKM seperti dirinya.
ADVERTISEMENT
“Saya juga udah bayar pajak UMKM lho. Memang enggak banyak, 0,5 persen dari omzet, tapi kalau dalam keadaan seperti ini kerasa juga,” ujarnya.