Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0

ADVERTISEMENT
Sebelum tahun 1997, kawasan Laguna Segara Anakan, Dusun Lempong Pucung, Desa Ujung Alang, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap menjadi pusatnya mangrove. Namun, saat memasuki tahun 1997 atau tepatnya mendekati reformasi, banyak pembukaan lahan untuk dijadikan tambak budi daya.
ADVERTISEMENT
Saat itu, ribuan hektare mangrove di Kampung Laut diubah menjadi tambak. Sayangnya, pada tahun 1999 ternyata tambak itu merugi. Para petambak gulung tikar dan meninggalkan lahan yang gundul.
Pernyataan di atas diceritakan langsung oleh Wahyono yang menjadi Ketua Kelompok Patra Krida Wana Lestari. Kelompok masyarakat yang dibentuk tahun 2005 ini bergerak karena peduli dengan perkembangan mangrove. Wahyono mengatakan sebelum terbentuk perkumpulannya, ia mengajak masyarakat untuk mulai bergerak terlebih dahulu.
“Nah ketika lahan gundul saya mulai prihatin melihat kondisi yang hutannya habis. Kemudian saya tahun 2000 mulai menanam, merenovasi hutan yang rusak yang jumlahnya sampai ribuan hektare,” kata Wahyono sambil mengawasi kawasan mangrove di Desa Ujung Alang, Kecamatan Kampung Laut, Cilacap, Kamis (24/10).
Wahyono mengajak kawan-kawannya mulai merawat hutan secara swadaya. Ia mengungkapkan aktivitasnya sehari-hari saat itu fokus mengadakan penanaman untuk mengembalikan kondisi hutan mangrove yang rusak.
ADVERTISEMENT
“Sampai berjalannya waktu sehingga tahun 2009 kami mulai gabung dengan Pertamina. Kami mengadakan penanaman bersama dengan Pertamina pertama nanam 10.000 pohon di dusun ini,” ungkap Wahyono.
Hampir setiap tahun Kelompok Patra Krida Wana Lestari bersama PT Pertamina (Persero) menanam pohon mangrove. Sampai tidak terasa sudah ada jutaan pohon yang tertanam.
“Hari ini yang sudah kami tanam dengan Pertamina itu sudah 1.400.000 pohon dari 2009 sampai 2018, kan 2019 belum nanam. Tapi kami dari kegiatan kami tetap nanam,” terang Wahyono.
Selain menjaga hutan, Wahyono mengaku yang dilakukannya harus bermanfaat juga untuk masyarakat sekitar khususnya dari segi ekonomi. Ia membeberkan pihaknya akhirnya bisa melakukan pembibitan mangrove yang dijual ke luar daerah seharga Rp 1.200 per pohon. Penjualan itu bisa mencapai 600 bibit.
ADVERTISEMENT
“Jadi setiap tahunnya lumayan pendapatan kami bisa menghidupi anggota kelompok serta melibatkan masyarakat juga karena kami mengelola hutan ini bukan dipanen hutannya tapi bagaimana bisa menciptakan hutan baru,” tutur Wahyono.
“Bagaimanapun hutan ini harus dilestarikan tapi dengan catatan kami juga harus makan, anggota kami harus makan. Akhirnya saya membuat pembibitan kebetulan banyak respons baik dari berbagai kalangan teman, asosiasi, kemudian LSM juga banyak,” tutur Wahyono.
Selain itu, Wahyono membeberkan saat ini lokasi mangrove sudah menjadi kawasan konservasi yang bisa dijadikan objek wisata. Ia mengaku juga menggandeng Pertamina khususnya dalam membangun track atau jalan bagi para masyarakat yang datang.
“Jadi ini ada pemasukan dari wisata. Wisatanya di sini tidak tiap hari. Wisatanya yang masuk juga tidak sebegitu banyak, yang paling banyak tetap hari libur tentunya Sabtu-Minggu bisa sehari 100, 200 tapi ada juga 50 orang. Kalau hari-hari biasa ya 24, 20 orang, 10 orang. Harga tiket Rp 5 ribu per sekali masuk,” bebernya.
ADVERTISEMENT