China dan AS Saling Serang Tarif Impor, Siapa Lebih Kuat?

10 April 2025 14:57 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Donald Trump bersiap menyampaikan pidato mengenai tarif impor baru saat "Make America Wealthy Again" di Gedung Putih, Washington DC, Amerika Serikat, Rabu (2/4/2025). Foto: Saul Loeb/AFP
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Donald Trump bersiap menyampaikan pidato mengenai tarif impor baru saat "Make America Wealthy Again" di Gedung Putih, Washington DC, Amerika Serikat, Rabu (2/4/2025). Foto: Saul Loeb/AFP
ADVERTISEMENT
Di tengah keputusan Trump untuk menunda pemberlakuan tarif selama 90 hari bagi sejumlah negara, China justru dikecualikan dari kebijakan tersebut. Sebaliknya, Trump justru menaikkan tarif impor barang dari China menjadi 125 persen, naik dari sebelumnya 104 persen, yang mulai berlaku pada hari Rabu (9/4).
ADVERTISEMENT
Mengutip dari Reuters, Beijing kemungkinan akan kembali merespons secara setimpal setelah menetapkan tarif sebesar 84 persen terhadap barang impor dari AS pada Rabu (9/4), sebagai balasan atas kebijakan Trump sebelumnya.
China telah berulang kali bersumpah akan “bertarung sampai akhir” dalam perang dagang yang kian memanas antara dua ekonomi terbesar dunia ini.
CEO Huafu International Hong Kong, Hong Hao, menilai China kini jauh lebih siap menghadapi tekanan dari Amerika Serikat dibandingkan saat perang dagang pada 2018.
“Saat ini, ini lebih seperti rebound teknikal. Jelas bahwa Trump mundur kemarin. Di saat yang sama, ia juga menyatakan keterbukaannya untuk bernegosiasi dengan China. Di pihak China, sangat jelas bahwa kami punya kepercayaan diri besar kali ini. Baik dalam pengumuman balasan tarif maupun penyusunan kebijakan, semuanya sudah dipersiapkan jauh sebelumnya. Setelah tujuh tahun pengalaman sejak 2018, proporsi ekspor China ke AS sudah jauh menurun. Jadi, kami tidak lagi sepasif dulu. Saya pikir rebound ini akan terus berlanjut sementara waktu,” jelas Hong.
ADVERTISEMENT
Sat Duhra, manajer portofolio di Janus Henderson Investors Singapura, melihat bahwa tensi dagang saat ini masih menyimpan banyak ketidakpastian.
“Volatilitas belum selesai, lingkungannya masih penuh ketidakpastian dan beberapa dampaknya tidak bisa dibalikkan. Negosiasi dengan China kini tampaknya akan lebih panjang dari perkiraan awal, kami tidak mengurangi eksposur ke China karena kami melihat ada perbaikan fundamental dan banyak alat kebijakan yang bisa digunakan China untuk merespons," ujarnya.
"Kami saat ini bersikap netral. Kami hanya menyukai dua sektor di China, perusahaan internet yang murah tapi bertumbuh tinggi, serta badan usaha milik negara berimbal hasil tinggi yang valuasinya menarik," sambungnya.
Sementara itu, Liam Zhou, pendiri Minority Asset Management di Shanghai, menilai kebijakan tarif tinggi ala Trump sebagai langkah yang gegabah dan tak berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
“Kebijakan Trump yang sembrono pasti akan menghadapi tekanan baik dari dalam maupun luar negeri, jadi ini tidak akan bertahan lama. Tarif yang lebih tinggi tidak akan menyelesaikan masalah seperti defisit perdagangan, deindustrialisasi sektor manufaktur, dan masalah utang pemerintah. Justru, itu bisa memicu resesi ekonomi di AS dan merusak kredibilitas keuangan negara tersebut," ujarnya.
Saham-saham China punya ruang penurunan yang terbatas karena valuasinya sudah rendah, dan dalam beberapa tahun terakhir China juga sudah mengurangi ketergantungan ekonominya pada AS, menekan risiko properti, meningkatkan sektor manufaktur, serta membuat terobosan teknologi,” jelasnya.
Di sisi lain, Jason Chan, strategi investasi senior di Bank of East Asia, Hong Kong, menilai masih ada ruang bagi dialog dan kompromi, meski situasi saat ini menunjukkan ketegangan.
ADVERTISEMENT
“Meskipun jelas bahwa tarif ini menyasar China, masih ada sedikit ruang untuk negosiasi jika mereka bisa menghentikan sementara tarif terhadap negara lain. Pasar masih menyimpan harapan setidaknya akan ada pembicaraan. China juga kemungkinan akan menggelontorkan stimulus untuk mendukung perekonomian dan meredam dampak tarif dalam waktu dekat," ujar Jason.
"Apakah tarif akan dikembalikan ke tingkat sebelumnya? Kemungkinan itu terjadi sangat kecil. Jadi, meskipun pasar mungkin mencatat kenaikan jangka pendek, saya rasa tidak akan langsung kembali ke level sebelumnya atau mengalami lonjakan besar," lanjutnya.
Sebelumnya, Presiden Trump menjelaskan alasan mengapa China tidak termasuk dalam daftar negara yang mendapat penundaan tarif melalui akun media sosialnya di Truth Social. Ia menilai China tidak menunjukkan penghormatan terhadap pasar global.
ADVERTISEMENT
“Berdasarkan kurangnya rasa hormat yang ditunjukkan Tiongkok kepada pasar dunia, dengan ini saya menaikkan tarif yang dikenakan Amerika Serikat kepada Tiongkok menjadi 125 persen yang berlaku segera,” ujar Trump dikutip Kamis (10/4).
Trump menyampaikan harapannya bahwa dengan langkah ini, China akan menyadari bahwa mereka telah melakukan praktik perdagangan yang tidak adil, termasuk terhadap AS yang mengalami defisit perdagangan sebesar USD 1 triliun. Ia juga berharap negara lain tidak lagi mentoleransi praktik semacam itu.