China dan Eropa Disebut Bisa Jadi Investor Proyek Pembangkit EBT di RI

24 November 2024 14:00 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas melakukan pengecekan termal kabel panel Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) on grid Sengkol kapasitas 7 MWp yang dioperasikan Vena Energy di Sengkol, Praya, Lombok Tengah, NTB, Senin (15/7/2024).  Foto: Ahmad Subaidi/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Petugas melakukan pengecekan termal kabel panel Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) on grid Sengkol kapasitas 7 MWp yang dioperasikan Vena Energy di Sengkol, Praya, Lombok Tengah, NTB, Senin (15/7/2024). Foto: Ahmad Subaidi/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Kementerian ESDM mencatat Indonesia membutuhkan sebanyak Rp 1.000 triliun bangun pembangkit dan jaringan listrik dalam kurun waktu 10 tahun ke depan. Sebagian besar kebutuhan listrik akan berasal dari pembangkit listrik Energi Baru Terbarukan (EBT).
ADVERTISEMENT
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan Bisman Bakhtiar menyebut butuh investasi dari asing untuk menopang kebutuhan listrik dalam 10 tahun yang akan datang tersebut.
Menurutnya, beberapa negara di Asia dan Eropa memiliki ketertarikan pada pengembangan EBT.
“Investasi yang potensial dari China dan Eropa, mereka punya potensi dan ketertarikan di pengembangan EBT, tinggal bagaimana pemerintah menarik dan memberikan jaminan dalam pengembangan EBT,” ungkapnya kepada kumparan pada Minggu (24/11).
Untuk menarik negara-negara tersebut, Bakhtiar bilang perlu ada sistem bisnis pengembangan EBT yang kompetitif. Selain itu, pemerintah juga perlu berfokus pada kemudahan perizinan, ketersediaan lahan serta kepastian hukum.
“Juga persoalan perizinan, lahan dan kepastian hukum harus menjadi perhatian pemerintah agar dapat menarik investasi di EBT,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Selaras dengan Bakhtiar, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa juga mengatakan pemerintah harus membuat regulasi yang meminimalkan risiko bisnis swasta.
“Untuk dapat menarik investasi swasta diperlukan proyek yang bankable. Untuk itu pemerintah harus membuat regulasi yang meminimalkan risiko swasta, membuat proyek dengan pengembalian investasi yang wajar sesuai risiko. Memperkuat kapasitas finansial PLN juga diperlukan mengingat PLN adalah offtaker,” jelas Fabby.
Untuk pengembangan EBT, Fabby juga menyebut pemerintah dapat melakukan kerja sama bilateral dengan negara lain untuk pembiayaan. Nantinya pembiayaan tersebut dapat dituangkan untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) dan baterai penyimpanan energi atau battery energy storage system (BESS).
ADVERTISEMENT
“Misalnya kerja sama dengan Tiongkok untuk pembangunan PLTS, PLTB dan BESS (battery) mengingat penguasaan teknologi Tiongkok, kemampuan EPC (Engineering, Procurement, and Construction) dan pembiayaannya,” katanya.
Dalam catatan kumparan, Indonesia akan membangun beberapa pembangkit listrik dengan total kapasitas 68 gigawatt (GW) di mana 47 GW di antaranya akan diisi oleh pembangkit EBT dalam 10 tahun ke depan.
Nantinya, investasi tersebut terbagi ke investasi untuk pembangunan pembangkit listrik sekitar Rp 600 triliun dan Rp 400 triliun untuk jaringan transmisi.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Yuliot Tanjung menyebut Indonesia memiliki potensi pemanfaatan EBT yang cukup tinggi. Beberapa potensi tersebut adalah energi surya, energi hidro, bioenergi gasifikasi batu bara sampai angin.
ADVERTISEMENT