China Disebut Masih Dominasi Energi Surya Dunia, Bagaimana dengan Indonesia?

13 Agustus 2024 14:20 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Analis Sistem Ketenagakerjaan dan Energi Terbarukan Institute for Essential Service Reform (IESR) IESR, Alvin Putra S dalam Media Briefing Indonesia Solar Summit di Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (13/8/2024). Foto: Argya Maheswara/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Analis Sistem Ketenagakerjaan dan Energi Terbarukan Institute for Essential Service Reform (IESR) IESR, Alvin Putra S dalam Media Briefing Indonesia Solar Summit di Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (13/8/2024). Foto: Argya Maheswara/kumparan
ADVERTISEMENT
Analis Sistem Ketenagakerjaan dan Energi Terbarukan Institute for Essential Service Reform (IESR) IESR, Alvin Putra S, menyebut China masih mendominasi pasar energi surya dunia. Alvin mengatakan selain China, India juga mulai menggenjot kinerja pasar energi terbarukan tersebut.
ADVERTISEMENT
“Kontributor terbesarnya berasal dari Tiongkok, hampir 60-70 persen di sana. Namun ada India dan Brazil yang cukup agresif," ungkap Alvin.
Alvin mengatakan tren penggunaan energi surya memang menjadi tren dengan keberadaan penambahan kapasitas tenaga surya di dunia sebesar 365 GW. Selain itu, hal ini juga didorong hasil kesepakatan COP28 di Dubai yang menghasilkan kesepakatan untuk menjaga suhu bumi di bawah 1,5 derajat celcius.
“Pada COP, para pemimpin dunia sepakat untuk menjaga suhu dunia dibawah 1,5 derajat,” terangnya.
Alvin juga memandang energi surya menjadi energi terbarukan yang paling potensial. Maka dari itu banyak negara yang memberi fokus pada pengembangan energi surya. Perkembangan juga terjadi di beberapa negara di ASEAN.
“Vietnam dan Thailand menjadi anak emas di energi ini, namun 2-3 tahun terakhir negara-negara di ASEAN juga mulai agresif. Filipina ternyata penambahannya itu paling besar,” jelas Alvin.
Foto udara kawasan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) on grid Selong kapasitas 7 MWp yang dioperasikan Vena Energy di Kelurahan Geres, Kecamatan Labuhan Haji, Selong, Lombok Timur, NTB, Senin (15/7/2024). Foto: Ahmad Subaidi/ANTARA FOTO
Untuk Indonesia, Alvin menyebut ada perkembangan yang cukup signifikan terkait penggunaan energri surya. “Indonesia sendiri, mungkin 2-3 tahun terakhir sudah melanjutkan perbaikan atau progress yang signifikan,” jelas Alvin.
ADVERTISEMENT
Walau begitu, perkembangan energi surya di Indonesia juga memiliki beberapa kendala, salah satunya adalah harga modul lokal yang lebih mahal dari modul impor.
“Salah satu yang menjadi pendorongnya adalah bagaimana modul lokal, sekarang masih lebih mahal dibanding produk impor. Jadi solusinya adalah membangun industri produksi wafer dan sel silika,” ujar Alvin.
Soal kualitas juga menjadi salah hambatan lain, dalam hal ini modul lokal biasanya memiliki kapasitas yang lebih kecil dari modul impor. “Membandingkan modul lokal dan impor itu sekarang modul impor bus sampai 750 watt dan kita terbatas mungkin sekitar 600 watt,” tutur Alvin.