Cukai Hasil Tembakau Dipandang Tak Efektif Turunkan Konsumsi Rokok

26 September 2024 17:46 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pekerja perempuan menata rokok sigaret kretek tangan (SKT) untuk dikemas di sebuah pabrik rokok di Bantul, Yogyakarta, Selasa (19/12/2023). Foto: M Risyal Hidayat/Antara Foto
zoom-in-whitePerbesar
Pekerja perempuan menata rokok sigaret kretek tangan (SKT) untuk dikemas di sebuah pabrik rokok di Bantul, Yogyakarta, Selasa (19/12/2023). Foto: M Risyal Hidayat/Antara Foto
ADVERTISEMENT
Langkah pemerintah untuk mengurangi konsumsi rokok dengan mengerek besaran Cukai Hasil Tembakau (CHT) dinilai tidak tepat.
ADVERTISEMENT
Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah Redjalam memandang, meski pemerintah menaikkan tarif CHT rokok, konsumsi rokok di RI tetap tinggi. Dia berkaca pada kebijakan kenaikan tarif CHT sebesar 10 persen pada tahun 2023 dan 2024.
“Karena mengurangi konsumsi rokok itu di Indonesia ini bukan melalui cukai sebenarnya. Ini bapak-bapak ini cukainya naik berapa aja tetap ngudud aja,” kata Piter usai diskusi Segara Institute di Jakarta Selatan, Kamis (26/9).
Meskipun tidak membeberkan data konsumsi ataupun produksi produk hasil tembakau atau rokok. Namun, Piter memandang, cara terbaik pemerintah untuk mengurangi konsumsi rokok adalah dengan membatasi ruang rokok.
Menurut dia, ketika ruang merokok dibatasi, perokok akan cenderung menahan konsumsi rokok. Sehingga, dalam jangka waktu yang lama, hal ini akan berdampak pada penurunan konsumsi rokok.
ADVERTISEMENT
“Orang itu akan mengurangi konsumsi rokok ketika ruang merokoknya itu memang dibatasi. Begitu di kantor nggak boleh merokok, banyak banget yang tidak lagi merokok, karena jauh, males dia harus keluar ke ruang tangga, harus turun,” jelas Piter.
Lebih lanjut Piter memandang, langkah pemerintah mengerek kenaikan CHT bukan semata untuk mengurangi konsumsi rokok, tetapi justru untuk meningkatkan penerimaan negara melalui instrumen fiskal ini.
“Jadi memang cukai itu udah bergeser fungsinya, cukai dijadikan salah satu sumber penerimaan. Makanya pemerintah itu menaikkan cukai, tetapi tidak melakukan upaya-upaya lain agar konsumsi rokok itu turun. Makannya cukainya kita naik, tapi prevalensi merokok kita tetap tinggi,” terangnya.
Mengutip Antara, Kementerian Keuangan mencatat realisasi penerimaan cukai per 31 Agustus 2024 mencapai Rp 138,4 triliun, tumbuh 5,0 persen secara tahunan (year-on-year/yoy).
ADVERTISEMENT
Pendorong kenaikan penerimaan cukai ini didorong oleh kenaikan produksi golongan II dan III yang mendorong kenaikan CHT sebesar 4,7 persen yoy menjadi Rp132,8 triliun.
Sebelumnya, Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR mengusulkan pemerintah untuk menaikkan tarif CHT untuk SPM dan SKM minimum sebesar 5 persen untuk 2025 hingga 2026.
Berdasarkan catatan kumparan, usulan kenaikan 5 persen tersebut lebih rendah ketimbang kenaikan di 2023 dan 2024 sebesar 10 persen.
Ketua BAKN DPR RI, Wahyu Sanjaya, mengatakan turunnya kenaikan tarif CHT sejalan dengan keberlangsungan dunia usaha.
“Dalam rangka meningkatkan penerimaan negara dari CHT dan membatasi kenaikan CHT pada jenis sigaret kretek tangan (SKT) untuk mendorong penyerapan tenaga kerja,” kata Wahyu dalam Rapat BAKN, Selasa (10/9).
ADVERTISEMENT
Meskipun, Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Askolani, kemudian memastikan pemerintah tidak akan menaikkan tarif CHT atau cukai rokok di 2025.
“Posisi pemerintah untuk kebijakan penyesuaian CHT 2025 belum akan dilaksanakan,” kata Askolani di konferensi pers APBN KiTa, Senin (23/9).