Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Perkantoran mulai merancang sistem kerja bergilir menyambut era new normal. Namun, sebagian pekerja dilanda dilema: apakah sistem tersebut betul-betul menjamin jarak fisik terjaga di antara mereka.
Reva, bukan nama sebenarnya, waswas saat institusi pemerintah tempatnya bekerja segera mengakhiri kebijakan kerja dari rumah (work from home). Sebab, artinya rutinitas pergi pulang naik MRT dari Fatmawati ke Bundaran HI akan kembali ia lakukan. Dia bakal berjumpa banyak orang lagi di tengah pandemi virus corona COVID-19 yang belum berakhir.
“Saya takut sebenarnya. Gimana nasib saya yang naik MRT ini? Tapi mau bagaimana lagi?” kata Reva saat berbincang dengan kumparan, Kamis (28/5).
Reva adalah pegawai negeri sipil sebuah kementerian. Merujuk pada Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 50 Tahun 2020 tentang Sistem Kerja Pegawai Aparatur Sipil Negara dalam Tatanan Normal Baru, dia dijadwalkan masuk kembali pada 5 Juni—Jumat pekan depan; hari yang tanggung betul, memang; semacam pemanasan sehari, lalu libur (akhir pekan) dulu lagi.
Kenapa harus 5 Juni? Sebab Pembatasan Sosial Berskala Besar di DKI Jakarta berlangsung sampai Kamis, 4 Juni. Dan jika PSBB tersebut tak diperpanjang lagi, maka Jakarta—dan kota-kota di sekelilingnya—akan menyongsong kembali hari-hari normal. Ya, hari-hari normal baru yang sekarang punya istilah keren: new normal.
Reva saat ini masih berada di rumah orang tuanya di wilayah Bodebek, namun dia mulai ancang-ancang untuk kembali ke indekosnya di kawasan Fatmawati, Jakarta Selatan. Banyak hal tengah dia siapkan, salah satunya adalah mental dan pikiran untuk menyesuaikan dengan aturan new normal.
Perempuan 25 tahun itu masih tak mampu membayangkan bagaimana kantornya mampu mengendalikan semua pegawai supaya tetap menjaga jarak satu sama lain. Di kantornya, Reva menghuni sebuah ruangan berukuran sekitar 4 x 5 meter yang diisi oleh sepuluh orang staf. Itu sebelum wabah corona menyerang.
Kini, jika mengikuti aturan physical distancing, jarak antarpegawai tentu harus ditambah sehingga mestinya mereka membutuhkan ruang lebih luas. Namun, mengubah ruangan menjadi lebih luas jelas bukan perkara enteng. Itu sebabnya, sebagai solusi, kantor Reva bakal menerapkan sistem kerja bergilir. Artinya, tak semua anggota tim masuk bersamaan. Mereka akan ke kantor bergantian.
Dengan demikian, semisal untuk satu tim, separuhnya bekerja di rumah dan separuhnya lagi berkerja di kantor. Jadi, dalam lima hari kerja per pekannya, Reva cukup ke kantor dua atau tiga hari, sedangkan sisa dua atau tiga hari sisanya WFH seperti sekarang. Ini supaya ruangan kerja di kantor tak sepadat seperti sebelum pandemi. Dan ini setidaknya membuat Reva sedikit lega.
“Ada juga wacana bagi yang sudah mau usia pensiun, WFH di rumah saja,” imbuh Reva.
Sampai saat ini Reva belum mengantongi aturan teknis terkait prosedur kerja di kantornya. Seminggu menjelang kehidupan normal baru, dia menunggu dengan ragu.
Pelaksana Tugas Kepala Biro Humas Badan Kepegawaian Negara, Paryono, menyatakan instansi pemerintah kini bersiap menyambut new normal . Protokol kesehatan seperti cek suhu tubuh, memakai masker, menjaga jarak satu sama lain, dan mencuci tangan atau menggunakan hand sanitizer menjadi keharusan ke depannya.
Sistem kerja juga turut diubah guna beradaptasi dengan situasi. Pegawai negeri didorong untuk lebih melek teknologi dan memanfaatkan platform digital.
“Itu sudah lama didorong. Tetapi gara-gara corona, dalam waktu beberapa bulan saja sudah mampu mentransformasi—yang tadinya manual langsung cepat sekali (berubah) ke arah digital,” jelas Paryono kepada kumparan, Rabu (27/5).
Digitalisasi sistem kerja di lingkungan pemerintahan merambah hingga fungsi pelayanan masyarakat. “Dalam pelayanan (yang) masih (menggunakan) berkas-berkas manual, bisa dilakukan secara elektronik,” ujar Paryono.
Untuk koordinasi, PNS—seperti juga para karyawan swasta—pun kini terbiasa menggelar rapat via video conference. Nyatanya, menurut Paryono, hal ini justru membuahkan sistem yang lebih efisien, sebab tak ada lagi alasan datang terlambat ke rapat atau bahkan menunda rapat karena terkendala ketersediaan ruangan. Sekarang: rapat bisa dilakukan di mana pun, dan hampir dalam kondisi apa pun—selama jaringan internet stabil.
Oleh karenanya, menurut Paryono, bisa jadi WFH selamanya bakal diizinkan dilakukan di masa depan untuk beberapa bidang yang memungkinkan.
“Jadi pekerjaan-pekerjaan yang bisa dilakukan di rumah itu dilakukan di rumah, tidak harus di kantor, tetapi output pekerjaan itu harus jelas. Jadi bukan masalah kehadiran (fisik pegawai)nya, tetapi output pekerjaan mereka yang harus jelas. Dia kerja di rumah, tapi dia harus produktif,” kata Paryono.
Kemungkinan “WFH selamanya” bagi sebagian sektor di instansi pemerintahan itu, ujar Paryono, mengacu pada pelaksanaan Flexible Work atau Flexi Work yang dikenalkan secara umum oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional pada awal 2020.
Flexi Work, menurut Kepala Bappenas Suharso Monoarfa, ialah prosedur yang memperbolehkan PNS untuk dapat bekerja tanpa harus berkantor secara konvensional. Guna merealisasikan kebijakan itu, Bappenas dipersiapkan menjadi contoh bagi kementerian dan instansi pemerintahan lain.
“Pola Flexi Work ini perlahan akan mengubah pola lama ke pola baru sehingga diharapkan produktivitas kerja dapat naik,” kata Suharso Monoarfa seperti dikutip dari laman Bappenas, Jumat (14/2).
Bappenas sendiri telah menyimulasikan Flexi Work pada 80 PNS-nya di lintas kedeputian pada Desember 2019 lalu. Aplikasi cloud—teknologi yang menjadikan internet sebagai pusat penyimpanan dan pengelolaan data—didapuk menjadi platform sistem kerja.
Perubahan sistem kerja tersebut dibarengi dengan tunjangan kinerja atau reward bagi PNS yang performanya meningkat dan mampu berkomitmen meningkatkan produktivitas.
WFH bukan hanya akan berakhir bagi PNS, tapi juga pegawai swasta. Angel, salah seorang karyawan perusahaan pengelolaan sampah di Jabodetabek, pun akan kembali berkantor sesuai surat edaran internal perusahaannya.
“(Masuk kantor) ini urgensinya karena kondisi ekonomi perusahaan juga perlu dijaga, yaitu lewat produktivitas kerja. Selama corona, banyak servis (ke klien) yang ke-cut. Jadi revenue (pendapatan) berkurang signifikan,” kata Angel kepada kumparan, Jumat (29/5).
Maka, kerja di kantor menjadi opsi untuk menggenjot pemasukan perusahaan, misalnya—di perusahaan Angel—dengan memaksimalkan penjualan composting bag (tas kompos) bagi masyarakat yang sehari-hari tinggal di rumah.
Tas kompos berfungsi untuk menampung sampah organik—sisa sayuran, buah, atau dedaunan—guna dimanfaatkan lebih lanjut sebagai pupuk kompos setelah difermentasi selama satu sampai tiga bulan.
Saat ini perusahaan Angel memberlakukan beberapa peraturan menyambut era new normal. Pertama, kantor hanya boleh diisi maksimal 45 orang dari total 70-an pekerja di enam divisi. Untuk itu, seperti Reva, mereka akan masuk secara bergiliran. Jadi, misalnya, satu divisi terdiri dari enam orang, maka dalam sehari hanya tiga karyawan yang datang ke kantor, sedangkan tiga lainnya akan bekerja dari rumah.
“Soalnya kantornya sempit. Jadi kalau full team penuh ruangannya, nggak bisa physical distancing,” ujar Angel. Meski begitu, dua divisi di perusahaan itu—operasional dan keuangan—harus tetap bekerja di kantor.
Kantor Angel terdiri dari dua lantai dan berada di kawasan permukiman. Kantor itu kini sedang direnovasi untuk diperbesar.
Kedua, perusahaan Angel membatasi beberapa kegiatan seperti turun ke lapangan dan pelatihan ke sekolah-sekolah atau masyarakat di sekitar tempat pembuangan sampah. Biasanya, sebelum pandemi, kantor Angel sering memberi pelatihan pengelolaan sampah kepada warga di seputaran TPS. Namun program tersebut mandek akibat pandemi.
Ketiga, direksi perusahaan melarang karyawan untuk mengunjungi mal. Meski tak ada sanksi bagi yang ketahuan melanggar, menurut Angel, aturan itu betul-betul ditekankan untuk dipatuhi.
Angel sama sekali tak keberatan dengan aturan-aturan baru tersebut. Ia tahu semua itu demi kebaikan karyawan sendiri. Namun, ia punya satu masalah yang terus mengganjal pikirannya. “Aku belum tahu mau naik apa ke kantor, haha.”
Selama ini Angel mengandalkan angkutan umum untuk pergi ke kantor. Dari rumahnya di Jakarta Selatan, dia biasa menggunakan KRL Commuterline ke Jakarta Timur. Turun di stasiun, ia kemudian akan naik ojek online.
Kedua moda transportasi umum itu masuk kategori rawan di masa pandemi ini. Pula, ojek online di Jabodetabek masih dilarang mengangkut penumpang.
New normal sejatinya adalah konsekuensi dari upaya pemerintah Indonesia memulihkan perekonomian negara yang anjlok—hal yang terjadi di seluruh dunia gara-gara corona.
Guna menyongsong new normal, pemerintah menyiapkan berbagai skenario, utamanya di sejumlah provinsi, termasuk DKI Jakarta dan Jawa Barat. Salah satunya dengan menerjunkan personel TNI dan Polri ke tempat-tempat umum.
Pemberlakuan new normal di perkantoran, menurut pakar epidemiologi Universitas Indonesia Pandu Riono, harus dikawal ketat, sebab pada dasarnya risiko penularan COVID-19 tidak pernah nol. Namun, setidaknya potensi itu akan berkurang jika para pekerja mematuhi aturan-aturan seperti disiplin menjaga jarak dan selalu memakai masker.
Secara umum, Pandu mencatat ada dua poin penting yang harus dilakukan agar penerapan new normal di tempat kerja tak memicu penularan virus corona. Pertama, menyediakan layanan medical checkup bagi karyawan, karena semakin sehat karyawan, risiko ia tertular COVID-19 juga semakin sedikit.
“Karena karyawan adalah aset. Itu yang harus benar-benar dijaga perusahaan,” kata Pandu.
Kedua, perusahaan harus mengedepankan kesehatan di lingkungan kerja, semisal dengan memperbanyak ventilasi untuk sirkulasi udara pada perkantoran model tertutup di gedung-gedung pencakar langit di ibu kota.
Selain itu, pemanfaatan filter atau penyaring udara bisa menjadi salah satu solusi guna menahan laju penularan virus.
“Sudah banyak filter-filter yang dipasang di air conditioner yang mampu menyaring virus dari kemungkinan beredar; ada filter HEPA (high-efficiency particulate air),” jelas Pandu.
New York Times melansir, HEPA filter dapat menangkap partikel berukuran 0,01 mikron atau 10 nanometer. Ukuran virus corona lebih besar dari itu, yakni berdiameter sekitar 0,125 mikron atau 125 nanometer. Oleh sebab itu, secara teoritis HEPA filter dapat menangkap virus corona di udara.
Tapi, HEPA filter saja bukan jaminan seseorang bebas virus corona karena virus itu tak hanya ada di udara, tapi juga bisa menempel di permukaan benda-benda dan berpindah dari orang ke orang. Jadi, menjaga jarak fisik tetap sangat penting di era new normal.
“Harus ada strategi supaya tidak terjadi kerumunan atau kepadatan di ruangan tertutup yang bisa meningkatkan risiko penularan,” kata Pandu.
***
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona .
Yuk, bantu donasi untuk mengatasi dampak wabah corona.