Dari Gerabah, Supoyo Meraup Untung dan Melestarikan Kerajinan Desa

22 Januari 2019 10:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Supoyo, perajin gerabah di Desa Klipoh, Magelang. (Foto: Elsa Olivia Karina L Toruan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Supoyo, perajin gerabah di Desa Klipoh, Magelang. (Foto: Elsa Olivia Karina L Toruan/kumparan)
ADVERTISEMENT
Tepat 21 tahun lalu, seorang lelaki bernama Supoyo memutuskan untuk hijrah dari Jakarta ke Desa Klipoh, Kecamatan Borobudur, Jawa Tengah. Selain karena takut terdampak kekacauan krisis moneter, dia terpanggil untuk meneruskan usaha orang tuanya, yakni membuat gerabah.
ADVERTISEMENT
Mulanya, lelaki berusia 48 tahun itu ragu meninggalkan pekerjaan di percetakan selama 3 tahun dan memulai usaha di bidang yang baru baginya. Apalagi, Supoyo merupakan lelaki desa pertama yang mau membuat gerabah secara langsung.
"Budaya di desa ini membuat hanya perempuan yang membuat gerabah, sementara laki-laki nya hanya mencari bahan baku, tanah liat, ke sawah," kisahnya saat ditemui di galeri gerabahnya, Dusun Klipoh, Jawa Tengah, Selasa (22/1).
Hasil dari produksi gerabah di Desa Klipoh, Magelang, Jawa Tengah. (Foto: Elsa Olivia Karina L Toruan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Hasil dari produksi gerabah di Desa Klipoh, Magelang, Jawa Tengah. (Foto: Elsa Olivia Karina L Toruan/kumparan)
Keputusan Supoyo tak salah, dari gerabah dia berhasil memperoleh pendapatan hingga Rp 10 juta per bulan. Selain itu, dia juga berhasil melestarikan kerajinan gerabah di desa ini. Sebab, kerajinan gerabah milik Supoyo merupakan satu-satunya yang ada di wilayah Magelang.
"Alhamdulilah, kerajinan gerabah disini jadi sentra gerabah untuk dipasok ke berbagai daerah, bahkan sampai ke Sumatera dan Kalimantan," paparnya.
ADVERTISEMENT
Berbagai jenis gerabah, mulai dari layah (wadah membuat sambal), kendi, hingga patung tokoh Buddha, Sidharta Gautama, pun ada di galerinya. Harga gerabah ini pun cukup terjangkau hingga jutaan rupiah.
Hasil dari produksi gerabah di Desa Klipoh, Magelang, Jawa Tengah. (Foto: Elsa Olivia Karina L Toruan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Hasil dari produksi gerabah di Desa Klipoh, Magelang, Jawa Tengah. (Foto: Elsa Olivia Karina L Toruan/kumparan)
Dengan dibantu oleh sanak saudara, Supoyo mampu menghasilkan gerabah berupa guci kecil hingga 100 item per hari. Pemesan yang mengambil gerabah Supoyo pun beragam, mulai dari wisatawan mancanegara hingga hotel berbintang.
"Gerabah dari sini biasa dijadikan souvenir untuk pernikahan maupun acara-acara di hotel. Terakhir, kami memenuhi pesanan sebanyak 3.000 gerabah kecil untuk salah satu hotel di Magelang," katanya.
Saat pesanan sedang banyak, Supoyo melibatkan masyarakat desa untuk membantu. Dia mengupah masyarakat tadi agar mampu memenuhi pesanan dengan target waktu yang telah disepakati dengan pemesan. Namun, lebih dari sekedar mencari tenaga bantuan, Supoyo justru ingin tetap meelestarikan kerajinan gerabah di desa.
ADVERTISEMENT
Supoyo pun berinisiatif untuk menggalakkan kerajinan gerabah kembali. Dia kemudian mulai membuat program belajar gerabah di tahun 2016 lalu. Supoyo juga melayani belajar gerabah hingga ke tempat warga. Upaya ini membuahkan hasil, di Tahun 2017 jumlah perajin gerabah yang ada di Desa Klipoh berjumlah 64 perajin. Di tahun 2018, bertambah sebanyak 20 perajin.
Produksi gerabah di Desa Klipoh, Magelang, Jawa Tengah. (Foto: Elsa Olivia Karina L Toruan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Produksi gerabah di Desa Klipoh, Magelang, Jawa Tengah. (Foto: Elsa Olivia Karina L Toruan/kumparan)
Tidak hanya itu, program belajar kerajinan gabah ini diakui Supoyo sangat diminati, khususnya wisatawan mancanegara. Ada 3 program paket yang disediakan Supoyo bagi wisatawan atau warga yang ingin belajar.
Pertama, untuk kalangan pelajar dikenakan biaya Rp 20 ribu per orang untuk 3 kali pertemuan. Sementara untuk kalangan wisatawan domesetik dibanderol harga Rp 20 ribu untuk satu kali belajar atau pertemuan.
ADVERTISEMENT
"Saya ingin membawa pesannya itu, berkumpul sambil melestarikan gerabah. Karena, kalau tidak, masyarakat disini akan lebih memilih bekerja, seperti bertani, ketimbang duduk dan berkumpul membuat gerabah," tutupnya.
Pasarkan Lewat Media Sosial
Di tengah kemajuan teknologi, Supoyo, menyadari pentingnya meningkatkan nilai berbagai jenis gerabah yang dia hasilkan. Selama ini, permasalahan yang kerap dialami para perajin gerabah di desa adalah masih rendahnya nilai jual yang ditetapkan pada produk kerajinan yang dihasilkan.
"Dulu, satu gerabah, misalnya tempat menyalakan lilin, itu hanya dihargai Rp 1.500 saja," ucapnya.
Karenanya, Supoyo berusaha untuk mengangkat nilai kerajinan gerabah, khususnya yang berasal dari Desa Klipoh. Salah satu yang dilakukan adalah memanfaatkan media sosial, seperti youtube, untuk mencari inovasi.
Produksi gerabah di Desa Klipoh, Magelang, Jawa Tengah. (Foto: Elsa Olivia Karina L Toruan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Produksi gerabah di Desa Klipoh, Magelang, Jawa Tengah. (Foto: Elsa Olivia Karina L Toruan/kumparan)
"Saya mencari model yang baru terus, salah satunya lewat youtube. Ini bisa jadi salah satu upaya untuk meningkatkan nilai jual, buktinya dulu gerabah yang bisa dihargai cuma Rp 1.500 sekarang naik jadi Rp 10.000. Saya ubah tempat menyalakan lilin seperti lampu teplok hanya dengan menggunakan minyak goreng saja," tambahnya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Supoyo juga sering mengikuti berbagai jenis pelatihan untuk meningkatkan keahlian. Dia juga sering mengadakan berbagai pelatihan bagi masyarakat desa di sekitar. Tujuannya agar keahlian masyarakat bisa bisa bersaing di tengah kemajuan.
"Sekarang kan persaingan enggak hanya dari desa ini aja, tapi juga ada banyak perajin gerabah di luar sana. Ini juga supaya kerajinan gerabah tetap menurun, khususnya untuk yang muda. Saya selalu ajak mereka untuk belajar dan mendalami teknik pembuatan gerabah. Kan sayang kerajinan gerabah yang sudah turun temurun hingga 10 generasi tiba-tiba berhenti di generasi muda sekarang begitu saja," tutupnya.