Daya Beli Masyarakat Melemah, PKS Desak Pemerintah Batalkan Kenaikan PPN 12%

15 November 2024 6:34 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Jubir Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Muhammad Kholid. Foto: Amrizal Papua/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Jubir Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Muhammad Kholid. Foto: Amrizal Papua/kumparan
ADVERTISEMENT
Rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada awal 2025 mendapat sorotan tajam dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di DPR RI. Muhammad Kholid, anggota Komisi XI DPR RI dan Juru Bicara PKS, mendesak Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk meninjau ulang kebijakan ini.
ADVERTISEMENT
Dalam rapat kerja Komisi XI DPR RI dengan Kementerian Keuangan yang digelar Rabu (13/11) lalu di Senayan, Jakarta, Kholid menyatakan bahwa kebijakan menaikkan PPN ini berisiko memperburuk kondisi daya beli masyarakat.
“Pertumbuhan ekonomi nasional sedang melambat. Daya beli masyarakat cenderung melemah. Rencana pemerintah menaikkan PPN menjadi 12% bukan kebijakan yang tepat,” ujar Kholid.
Kholid menyitir data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan pertumbuhan ekonomi kuartal III-2024 sebesar 4,95% secara tahunan atau mengalami pelambatan dibandingkan kuartal sebelumnya.
Calon pembeli memilih barang di salah satu pusat perbelanjaan di kawasan Senayan, Jakarta, Kamis (28/12/2023). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Konsumsi rumah tangga, yang menjadi salah satu penopang utama perekonomian, hanya bertumbuh 4,91% atau lebih rendah dibanding kuartal sebelumnya yakni 4,93%. Kholid juga menyinggung soal deflasi yang terjadi berturut-turut pada Mei hingga September 2024.
ADVERTISEMENT
Belum lagi peningkatan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang menurut data Kementerian Tenaga Kerja per Oktober 2024 mencapai 59.796 orang, atau naik 31,13% dari tahun lalu.
Kholid meyakini bahwa indikator ekonomi yang pesimis tersebut merupakan pertanda bahwa ekonomi Indonesia sedang tidak baik-baik saja.
“Kelas menengah turun dari 57,33 juta di 2019 menjadi 47,85 juta di 2024. Artinya, dalam periode 5 tahun kita kehilangan 9,48 juta kelas menengah. Oleh karena itu, rencana pemerintah menaikkan PPN 12% seharusnya ditinjau ulang atau dibatalkan,” sambung anggota DPR RI dari Dapil Jawa Barat VI Kota Depok dan Kota Bekasi itu.
Ilustrasi kelas menengah. Foto: Darryl Ramadhan/kumparan
Untuk menggenjot pendapatan negara dari sektor pajak, Kholid menyebut bahwa pemerintah bisa mengoptimalkan penerimaan dari sektor tertentu. Ia menyinggung penerimaan pajak yang tumbuh negatif pada sektor seperti pertambangan dan industri pengolahan.
ADVERTISEMENT
Kholid menambahkan, pemerintah juga bisa memperluas basis pajak dengan mengkaji potensi penerimaan baru dari shadow economy dan menekan kebocoran dari perilaku penghindaran dan penggelapan pajak, termasuk transfer pricing.
Pada kesempatan yang sama, Sri Mulyani menyatakan bahwa pemerintah akan tetap menaikkan PPN karena hal ini merupakan mandat dari Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) Bab IV Pasal 7 ayat (1) mengenai PPN.
Presiden Prabowo Subianto berjabat tangan dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelum sidang kabinet paripurna di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (23/10/2024). Foto: Instagram/ @smindrawati
Namun, Kholid memiliki pandangan berbeda. Menurutnya, Pasal 7 ayat (3) dan ayat (4) UU yang sama memberi fleksibilitas tarif PPN, yang dapat ditetapkan antara 5 persen hingga 15 persen, dan perubahan tersebut dapat diatur melalui Peraturan Pemerintah.
“Di dalam Pasal 7 ayat (3) dan ayat (4) UU HPP, pemerintah bersama DPR RI memiliki ruang kebijakan untuk tidak menaikkan PPN menjadi 12% karena tarifnya bisa diatur dalam rentang 5% hingga 15%. Jika pemerintah dan DPR sepakat, kita bisa menunda atau membatalkan kenaikan PPN 12% yang direncanakan pada awal tahun 2025,” jelas Kholid.
ADVERTISEMENT