Defisit Transaksi Berjalan Tak Masalah, Asal Pemerintah Jaga Investasi

14 Maret 2019 19:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso
zoom-in-whitePerbesar
Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso
ADVERTISEMENT
Defisit transaksi berjalan atau Current Account Deficit (CAD) yang selama ini membayangi perekonomian Indonesia, dinilai wajar bagi negara berkembang yang banyak membutuhkan impor bahan baku dan barang modal untuk mendongkrak ekonomi.
ADVERTISEMENT
Defisit juga dialami oleh sejumlah negara lain seperti Singapura yang rasionya mencapai 10 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) serta China yang mencapai 12 persen dari PDB. Vietnam bahkan baru mengalami transaksi berjalan yang surplus pada 2011.
Namun, mantan Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan, kondisi tersebut tetap harus diimbangi dengan arus investasi portofolio. Sebab, jika investasi dalam portofolio positif, maka nilai tukar rupiah akan stabil dan defisit bisa ditekan.
"Jadi yang bermasalah bukan di CAD. Tapi bagaimana kita meskipun kondisi CAD rupiah bisa stabil. Itu yang harus dipecahkan," kata Chatib di Main Hall BEI, Jakarta, Kamis (14/3).
Artinya, kata Chatib, defisit tidak akan menjadi ancaman asal performa rupiah tetap sehat. Salah satu cara agar rupiah stabil adalah pemerintah perlu meyakinkan investor agar mau lebih lama menanamkan dananya di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Saat ini, investasi Indonesia sebagian besar berperiode jangka pendek, hal ini membuat kurs rupiah dan pasar modal mudah bergejolak karena investor bisa sewaktu-waktu mencabut dananya dari Indonesia.
Menurut Chatib, pada 2017 investasi melalui portofolio tercatat USD 20,6 miliar, sedangkan investasi langsung asing (foreign direct investment/FDI) hanya USD 19 miliar. Artinya jumlah investasi yang rawan pergi dari Indonesia cenderung lebih besar.
"Defisit APBN itu dibiayai obligasi pemerintah, di mana 25 persen global bond sedangkan 75 persen dalam bentuk mata uang lokal atau rupiah. Tapi dari obligasi denominasi rupiah, 60 persennya dimiliki non residen (bukan investor dalam negeri)," ujarnya.
Chatib Basri, mantan Menteri Keuangan. Foto: Selfy Sandra Momongan/kumparan
Untuk menahan investasi asing lebih lama, Chatib menilai perlu diterapkan kebijakan fiskal seperti tobin tax, yakni pengenaan pajak transaksional atas dana yang ditarik dari pasar saham. Artinya bagi investasi portofolio jangka pendek, akan dikenakan pajak.
ADVERTISEMENT
Menurut Chatib, kebijakan ini tentu berisiko terhadap capital market, sebab asing akan semakin memperhitungkan untuk masuk ke Indonesia. Maka yang perlu kebijakan berlapis yakni memberikan insentif reverse tobin tax.
Kebijakan insentif fiskal ini diberikan ketika investor yang melakukan reinvestasi di Indonesia, maka investor tersebut akan mendapatkan insentif pajak tertentu dari pemerintah.
"Jadi yang perlu dipertimbangkan secara serius itu bagaimana membuat orang tertarik mau tempatkan investasinya di Indonesia," tandasnya.