
Pertengahan Mei 2023, Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengumpulkan para produsen motor listrik. Ia diminta Presiden Jokowi mengevaluasi implementasi percepatan program penerapan kendaraan listrik berbasis baterai. Turut hadir dalam forum tersebut sejumlah pejabat kementerian lain yang terkait dengan urusan kendaraan elektrik.
“Kenapa kok progresnya kurang begitu cepat? Ini kenapa?” kata Luhut seperti ditirukan Hanggoro Ananta, Sekretaris Jenderal Asosiasi Sepeda Motor Listrik Indonesia yang mengikuti pertemuan itu.
Menurut Hanggoro kepada kumparan, Kamis (25/5), Luhut ingin mendengarkan secara langsung berbagai masalah di lapangan, terutama soal minimnya minat masyarakat untuk memiliki motor listrik meski subsidi telah digeber.
Sudah hampir dua bulan sejak pemerintah menggelontorkan subsidi motor listrik pada awal April, namun hasilnya ternyata mengecewakan. Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kemenko Marves Rachmat Kaimuddin mengatakan, penjualan motor listrik hanya 1% dari target, yakni 381 unit.
Namun, 381 unit tersebut sesungguhnya tidak mencapai 1% dari target, sebab target penjualan motor listrik tahun ini sebanyak 200.000 unit. Artinya, 1% dari target itu seharusnya 2.000 unit.
Lebih lanjut, situs web Sisapira—yang mendata penyaluran motor listrik subsidi—bahkan mencatat belum ada satu unit pun yang tersalurkan dari 200.000 motor listrik subsidi yang tersedia. Data Sisapira pada 29 Mei juga menunjukkan, dari 600 orang yang mendaftar untuk membeli motor listrik subsidi, baru 2 orang yang terverifikasi.
Lesunya penjualan motor listrik juga membuat Moeldoko, Ketua Perkumpulan Industri Kendaraan Listrik Indonesia sekaligus Kepala Staf Kepresidenan, terheran-heran.
“Ini sebuah kebijakan yang sangat baik dan mestinya direspons karena ini berupa subsidi. Tapi kenyataannya belum. Jadi mestinya ada yang salah. Untuk itu kita evaluasi agar program pemerintah ini cepat diserap oleh masyarakat,” kata Moeldoko, Senin (22/5).
Pemerintah mulai memberikan insentif untuk pembelian kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB) roda dua sejak 20 Maret. Insentif ini berupa potongan tunai langsung kepada konsumen sebesar Rp 7 juta untuk pembelian satu unit motor listrik.
Pemerintah juga memberikan insentif untuk pembelian mobil listrik dan bus listrik berupa potongan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10%. Dengan kata lain, beli mobil listrik hanya kena PPN 1%
Insentif itu mendapat sambutan. Penjualan mobil listrik di Indonesia naik 15,5% setelah potongan PPN diterapkan. Dari target penjualan 35.000 unit pada tahun 2023 ini, data whole sales Gaikindo menunjukkan 1.285 mobil listrik terjual sepanjang April. Namun, dibanding penjualan mobil berbahan bakar bensin, angka itu hanya berkontribusi 2,2% secara nasional.
Selain itu, baru dua jenis mobil listrik yang mendapat insentif potongan PPN, yakni Hyundai Ioniq 5 pabrikan Korea Selatan dan Wuling Air ev asal Tiongkok.
Mengegas Penerapan Kendaraan Listrik
Program percepatan penerapan kendaraan listrik berbasis baterai bukannya ujug-ujug ada. Program ini telah dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019, dan didasarkan pada riset yang terentang sejak 1997.
Adalah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang melakukan riset mobil listrik pada 1997. Kala itu, peneliti LIPI Ir. Masrah mengembangkan mobil listrik untuk digunakan di kalangan terbatas. Empat tahun kemudian, 2001, riset tersebut mulai berbuah. LIPI berhasil membuat prototipe mobil listrik nasional yang dijuluki Marlip alias Marmut Listrik LIPI.
Seiring waktu, Marlip diturunkan menjadi ragam tipe, antara lain mobil wisata (buggy car), mobil patroli, smart car, city car, mobil golf, dan lain-lain. Namun, Marlip hanya dipasarkan di kalangan tertentu seperti rumah sakit dan manajemen lapangan golf.
Selain membuat mobil listrik, LIPI juga meluncurkan proyek konversi mobil bahan bakar minyak (BBM) menjadi mobil listrik berbasis baterai pada 2010. Eksperimen ini menggunakan mobil Toyota Kijang keluaran 1990-an.
Pelbagai riset tentang kendaraan listrik di dalam negeri terus berlangsung, hingga akhirnya Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) pada 2015 mengusulkan kepada pemerintah untuk merancang peta jalan kendaraan listrik.
Jongkie D. Sugiarto yang ketika itu menjabat sebagai Ketua I Gaikindo mengatakan telah menerima aba-aba dari Jokowi untuk segera mengantisipasi teknologi kendaraan listrik.
Gaikindo kemudian menyusun kajian skema fiskal agar mobil listrik dan mobil hibrida (yang menggunakan gabungan mesin bensin dan baterai) bisa dipasarkan di Indonesia dengan harga sama seperti mobil BBM pada umumnya.
Dalam melakukan kajian tersebut, Gaikindo menggandeng Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia. Kajian ini menghasilkan sejumlah rekomendasi, misalnya agar penjualan kendaraan listrik mendapat potongan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Alasannya, PPnBM membuat harga kendaraan elektrik jadi makin mahal saat masuk ke Indonesia.
Gaikindo selanjutnya menyerahkan kajian itu kepada Kementerian Perindustrian. Sejak saat itulah muncul peta jalan kendaraan listrik di Indonesia untuk jangka menengah dan jangka panjang. Roadmap itu kemudian menjadi program prioritas lewat Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) 2015-2035.
“Jadi sebenarnya kajian [soal kendaraan listrik] sudah banyak dilakukan di Indonesia, karena kita lihat Indonesia cukup tertinggal dalam hal ini. Kajian-kajian yang ada juga membandingkan perkembangan kendaraan listrik di Indonesia dengan negara lain,” kata Jubir Kemenperin Febri Hendri kepada kumparan, Jumat (26/5).
Kesepakatan COP21 Paris yang ikut diteken Indonesia pada tahun yang sama, 2015, juga menjadi dorongan bagi pemerintah untuk mempersiapkan kebijakan ramah lingkungan. Kesepakatan Paris bertujuan untuk menjaga kenaikan suhu Bumi agar tak lebih dari 2oC dengan mengurangi emisi karbon dioksida—yang antara lain dihasilkan dari pembakaran kendaraan berbahan minyak bumi.
Tiga tahun kemudian, 2018, pemerintah menggandeng 6 universitas di Indonesia (ITB, UGM, UI, UNS, ITS, Udayana) dan produsen mobil asal Jepang, Toyota, untuk melakukan riset lebih dalam soal kendaraan listrik.
“Melalui studi bersama ini, kita juga cari solusi yang meliputi kenyamanan berkendara, infrastruktur pengisian energi listrik, rantai pasok dalam negeri, adopsi teknologi, dan regulasi,” kata Airlangga Hartarto yang saat itu menjabat sebagai Menperin.
Tahun berikutnya, Agustus 2019, Jokowi meneken Perpres Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan. Ada 5 poin penting yang termaktub dalam perpres tersebut, antara lain:
Untuk poin kedua, kendaraan listrik yang mendapat insentif harus memiliki kandungan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Motor listrik minimal memiliki 40% TKDN pada 2019–2023, lalu naik menjadi 60% pada 2024–2025, dan naik lagi menjadi 80% pada 2026.
Mobil dan bus listrik juga wajib memiliki TKDN yang komposisinya naik secara bertahap, yakni 35% pada 2019–2021, 40% pada 2022–2023, dan 80% pada 2030.
Sepi Peminat Meski Disubsidi
Guna mengegas percepatan kendaraan listrik, pemerintah mulai 20 Maret 2023 memberikan subsidi berupa potongan harga Rp 7 juta untuk pembelian motor listrik dengan TKDN 40. Sementara pembelian mobil listrik dengan TKDN 40% mulai 1 April hanya dikenai PPN 1%.
Nyatanya, dua bulan berjalan, penjualan kendaraan listrik jauh panggang dari api. Ingar bingar motor-mobil listrik hanya berlangsung sejenak. Pada akhirnya, masyarakat tidak memandang kendaraan listrik sebagai opsi utama ketika memilih angkutan pribadi.
Ada banyak alasan di balik rendahnya animo masyarakat atas kendaraan listrik. Pertama, menurut Direktur Celios Bhima Yudhistira yang mengamati kebijakan publik dan ekonomi berkelanjutan, adalah skema subsidi yang tidak tepat.
Subsidi mobil listrik, misalnya, cenderung mendorong masyarakat untuk membeli mobil (listrik) baru ketimbang mengonversi mobil (bensin) lamanya ke mesin listrik. Harga mobil listrik setelah dipotong PPN 10% pun bukannya lantas jadi luar biasa murah.
Ada dua jenis mobil listrik yang mendapat diskon PPN, yaitu Hyundai Ioniq 5 dan Wuling Air ev. Harga Ioniq 5 setelah dikorting berkisar Rp 678 juta–Rp 789 juta per unit. Sementara harga Air ev setelah didiskon berkisar Rp 218 juta–275 juta.
Harga tersebut, bagi masyarakat kelas menengah, masih tergolong tinggi. Ini otomatis menjadi hambatan mereka dalam mengadopsi mobil listrik. Mereka umumnya harus lebih dulu menjual mobil lama yang bermesin bensin jika hendak membeli mobil listrik. Itu pun belum tentu mobil lama mereka cepat terjual.
Hal tersebut berbeda dengan masyarakat kelas atas yang tak harus berpikir dua kali untuk membeli mobil listrik. Alhasil, menurut Bhima, subsidi jadi salah sasaran.
“Jatuhnya jadi menyubsidi orang kaya yang di garasinya sudah punya mobil BBM, lalu dia menambah satu mobil lagi (mobil listrik). Itu lebih ke soal lifestyle—FOMO (fear of missing out/ketinggalan tren),” ujar Bhima saat berbincang dengan kumparan, Selasa (23/5).
Ketua I Gaikindo Jongkie Sugiarto mengakui harga mobil listrik memang masih mahal.
“Mudah-mudahan nanti ada BEV (battery electric vehicle) yang harganya terjangkau,” ujarnya.
Sementara itu, motor listrik subsidi yang digembar-gemborkan pemerintah pun dirasa masyarakat berbelit prosedur pembeliannya. Subsidi diberikan kepada masyarakat yang terdaftar sebagai penerima Kredit Usaha Rakyat (KUR) atau Bantuan Produktif Usaha Mikro (BPUM) atau Bantuan Subsidi Upah (BSU) atau penerima subsidi listrik PLN 450–900 VA.
Masyarakat yang memenuhi syarat tersebut perlu lebih dulu mendaftar dan membayar uang muka Rp 1 juta untuk mendapatkan motor listrik subsidi. Data-data yang mereka cantumkan saat pendaftaran kemudian diverifikasi. Problemnya, proses verifikasi ternyata makan waktu lama, sampai sebulan lebih, sehingga banyak calon pembeli yang mundur.
Mereka yang membatalkan pembelian motor listrik subsidi itu tidak mendapat pengembalian dana secara penuh; dipotong Rp 100 ribu untuk biaya administrasi. Hal ini semakin membuat masyarakat kurang mampu enggan menjajal.
Kemenperin bukannya tak menyadari kelambanan proses verifikasi tersebut. Jubir Kemenperin Febri Hendri mengatakan, sistem IT untuk verifikasi data calon pembeli motor listrik memang baru dibangun sehingga evaluasi perlu terus dilakukan.
“Kalau memang lembaga verifikasi independen yang kami tunjuk itu lambat kerjanya karena banyak sekali yang harus mereka verifikasi, nanti bisa kami tambah [SDM],” ujar Febri.
Ia menjelaskan, verifikasi memang butuh waktu karena pemerintah tak mau penyaluran motor listrik subsidi salah sasaran.
Ekosistem Industri Belum Matang
Bhima juga menyoroti ekosistem industri otomotif di Indonesia yang belum mendukung percepatan penerapan kendaraan listrik, mulai dari sisi pembiayaan, bengkel, layanan after-sales (purnajual), sampai suku cadang yang mayoritas diekspor dari negara lain.
Faktor-faktor itulah yang membuat harga jual kendaraan listrik masih tinggi di Indonesia.
“Harga itu kan sebenarnya economies of scale. Kalau makin banyak produsen [yang memproduksi mobil listrik], harga turun. Nah, kenapa enggak banyak produsen yang mau memproduksi itu?” kata Bhima.
Selama ini, lanjutnya, industri mobil di Indonesia didominasi oleh pabrikan asal Jepang dengan pangsa pasar mencapai 98%. Padahal mereka lebih memilih mengembangkan kendaraan hibrida ketimbang mobil listrik.
Toyota misalnya tak lagi sepenuhnya mengembangkan kendaraan berbasis baterai. Kepala Peneliti Toyota Gill Pratt dalam Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss, Januari 2023, mengatakan bahwa kendaraan listrik bergantung pada cadangan litium sebagai bahan baku baterai, padahal litium diperkirakan habis pada 2040.
Infrastruktur penunjang untuk kendaraan listrik di Indonesia pun dianggap belum memadai. Hal ini misalnya dikeluhkan CEO Ion Mobility James Chan yang memasarkan motor listriknya ke Indonesia. Menurutnya, pemilik motor listrik di Indonesia kerap harus mengisi daya di rumah karena Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) yang belum merata.
“Adopsi [kendaraan listrik di Indonesia] sangat lambat karena ketidaknyamanannya. Tidak seperti motor [bensin] biasa yang tinggal ke SPBU [saat kehabisan bahan bakar],” ujarnya seperti dilaporkan Channel News Asia.
Merespons hal ini, Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM menyatakan bahwa ekosistem kendaraan listrik di Indonesia masih dalam tahap pengembangan.
Kementerian ESDM tengah memperkuatnya lewat berbagai cara seperti memberikan pelatihan kepada para montir, memperbanyak bengkel kendaraan listrik kota-kota besar, dan membuka layanan daring untuk masyarakat yang ingin mengonversi kendaraannya ke mesin listrik.
Kemenperin menyatakan akan menggandeng berbagai kementerian/lembaga terkait dan industri otomotif untuk menggencarkan sosialisasi kendaraan listrik.
“Kami akan mengerahkan semua sumber daya… untuk merayu para calon pembeli,” kata Febri.
Sementara itu, Sekjen Asosiasi Industri Sepeda Motor Listrik Indonesia (Aismoli) Hanggoro Ananta mendorong pemerintah untuk menambah lembaga verifikator agar proses verifikasi data calon pembeli tidak tersendat. Saat ini hanya satu lembaga yang dilibatkan dalam verifikasi data penyaluran motor listrik subsidi, yakni PT Surveyor Indonesia.
Aismoli juga menyarankan pemerintah untuk memperluas pangsa pasar dan target penerima motor listrik subsidi. Hal ini diamini ahli strategi transisi energi Fabby Tumiwa. Menurutnya, target subsidi yang sempit sudah tentu memperlambat penjualan.
“Subsidi kan diharapkan bisa menarik minat orang membeli motor listrik, tapi begitu dibuat persyaratan khusus ya segmen pasarnya jadi terbatas,” ujar, Rabu (24/5).