Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Di Depan OECD, Sri Mulyani Bicara Rencana Naikkan Tax Ratio Lewat Pajak Digital
18 Maret 2021 20:30 WIB
ADVERTISEMENT
Pemerintah berkomitmen untuk terus menaikkan penerimaan perpajakan. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa pihaknya akan berusaha menaikkan tax ratio setelah nantinya perekonomian pulih kembali pasca dihantam pandemi COVID-19. Adapun cara yang akan ditempuh yaitu dengan melakukan reformasi perpajakan agar penerimaan terus meningkat.
ADVERTISEMENT
“Tax ratio perlu ditingkatkan dan reformasi perlu dilakukan agar kita bisa memperlebar dan memperdalam tax base,” ujar Sri Mulyani Peluncuran Survei Ekonomi OECD Indonesia, Kamis (18/3).
Sri Mulyani merinci, reformasi perpajakan yang dimaksud yaitu meliputi bidang pelayanan organisasi, sumber daya manusia, teknologi informasi, basis data, proses bisnis, serta peraturan pajak.
Di sisi lain, Sri Mulyani juga punya rencana besar untuk menaikkan penerimaan yaitu melalui pemungutan pajak digital. Menurutnya, semua negara tidak dapat terhindar dari transformasi digital, termasuk penetrasi atau berbagai aktivitas ekonomi melalui platform digital. Namun sayangnya di tingkat dunia belum ada kesepakatan mengenai kebijakan pajak yang transparan dan adil.
Sri Mulyani pun berharap agar negara-negara yang tergabung dalam G20 bisa segera mencapai kesepakatan mengenai pengenaan pajak digital. Menurutnya potensi penerimaan dari penerapan pajak digital sangat besar khususnya bagi Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Diharapkan di forum G20 bisa mencapai kesepakatan soal digital taxation secara adil,” ujarnya.
Di sisi lain dengan membaiknya tax ratio, Sri Mulyani berharap hal tersebut nantinya bisa menjadi solusi atas pelebaran defisit APBN yang kini dialami Indonesia. Menurutnya pemerintah berencana mengembalikan defisit APBN ke level 3 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Seperti diketahui, defisit APBN melebar hingga 6 persen terhadap PDB pada 2020.
"Meskipun emergency law Indonesia mengizinkan kita defisit lebih dari 3 persen tapi mulai 2021 dan 2022 kita perlu continue supporting, perlu konsolidasi fiskal,” ujarnya.