Dilema Subsidi Airport Tax, Antara Kesehatan vs Bisnis?

25 Oktober 2020 18:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Calon penumpang pesawat duduk menanti jadwal pesawat di Terminal 3 Bandara Internasional Soekarno-Hatta (Soetta), Tangerang, Banten, Kamis (9/7/2020). Foto: ADITYA PRADANA PUTRA/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Calon penumpang pesawat duduk menanti jadwal pesawat di Terminal 3 Bandara Internasional Soekarno-Hatta (Soetta), Tangerang, Banten, Kamis (9/7/2020). Foto: ADITYA PRADANA PUTRA/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menanggung tarif Passenger Service Charge (PSC) atau airport tax yang selama ini dibebankan ke penumpang. Tarif ini sebelumnya dipungut pengelola bandara saat penumpang membeli tiket pesawat.
ADVERTISEMENT
Pembebasan pajak penumpang ini bagian dari stimulus subsidi penerbangan tarif Pelayanan Jasa Penumpang Pesawat Udara (PJP2U) yang diberikan pemerintah ke pengelola bandara di masa pandemi untuk menaikkan jumlah penumpang. Subsidi berlangsung mulai 23 Oktober hingga akhir Desember 2020.
Pengamat Penerbangan Alvin Lie mengapresiasi langkah pemerintah yang menanggung airport tax penumpang. Stimulus ini telah lama diusulkan untuk mendukung bisnis bandara di masa pandemi, tapi baru ditetapkan saat ini.
Meski begitu, dia menilai stimulus ini kurang menendang untuk mendorong gairah penumpang menggunakan transportasi udara, terutama penumpang yang hendak berwisata. Sejak pandemi, penerbangan domestik banyak diisi oleh penumpang untuk kepentingan dinas dan bisnis.
"Mungkin tapi belum cukup besar sebab biaya PJP2U itu sekitar Rp 50 ribu sampai Rp 120 ribu buat penerbangan domestik. Apakah selisih ini cukup bikin alasan 'ayo besok kita naik pesawat?' saya enggak yakin," kata dia saat dihubungi kumparan, Minggu (25/10).
ADVERTISEMENT
Berdasarkan penelusurannya ke kalangan pengusaha wisata, saat libur panjang Agustus lalu misalnya, penumpang hotel di daerah justru banyak yang datang menggunakan mobil pribadi. Umumnya, mereka masih ragu naik pesawat karena tidak mau ribet mengurus pemeriksaan kesehatan bandara. Sedangkan mobil pribadi bisa lebih cepat karena ada Tol Trans Jawa.
Komisioner Ombudsman Alvin Lie Foto: Ainul Qalbi/kumparan
Sedangkan untuk menarik penumpang wisata menggunakan maskapai, banyak faktornya. Tidak hanya pembebasan PJP2U, tapi juga sektor pariwisata di daerah yang dituju harus mendukung, mulai dari hotel, restoran, dan wisata yang ditawarkan, termasuk aman dari COVID-19.
"Saya kurang optimistis dengan penghapusan ini akan dorong gairah terbang lagi. Transportasi udara hanya sebagian kecil dari bauran strategi pariwisata. Apakah daerah ini sudah siap promosikan produknya dan lain sebagainya Jangan sampai pemerintah tanggung PJP2U tapi COVID-19 masih tinggi," ujar Alvin.
ADVERTISEMENT
Alvin juga minta penumpang yang hendak wisata menggunakan maskapai tetap memperhatikan protokol kesehatan. Penumpang maskapai harus ingat, meski berlibur, menjaga jarak, mencuci tangan, dan menggunakan masker tetap yang utama.
"Kita lihat, di Medan COVID-19 masih lumayan (tinggi), Jakarta juga masih lumayan. Di Indonesia rata-rata masih merah, hanya sedikit (yang zona hijau). Ini yang perlu kita cermati, jangan sampai mubazir," ujarnya.
Meski begitu, Alvin optimistis layanan bandara tidak akan berkurang dengan penghapusan tarif ini. Sebab, pengelola di 13 bandara akan mendapatkan uang penggantinya dari pemerintah.
Ke-13 bandara tersebut adalah Bandara Soekarno-Hatta (CGK), Bandara Hang Nadim (BTH), Bandara Kualanamu (KNO), Bandara I Gusti Ngurah Rai (DPS), Bandara Internasional Yogyakarta (YIA), Bandara Halim Perdanakusuma (HLP), dan Bandara Internasional Lombok Praya (LOP). Lalu Bandara Jenderal Ahmad Yani (SRG), Bandara Sam Ratulangi (MDC), Bandara Komodo Labuan Bajo (LBJ), Bandara Silangit (DTB), Bandara Banyuwangi (BWX), dan Bandara Adi Sucipto (JOG).
ADVERTISEMENT