Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.106.0
Dipakai Selama 27 Tahun, Ini Alasan Pemerintah Revisi Aturan Garis Kemiskinan
11 Juni 2025 17:07 WIB
·
waktu baca 3 menit
ADVERTISEMENT
Pemerintah tengah menyusun ulang metode penghitungan kemiskinan dan memperbarui garis kemiskinan nasional yang sudah digunakan sejak 1998. Revisi ini dinilai mendesak karena standar lama dianggap tidak lagi mencerminkan realitas hidup masyarakat dan terlalu rendah untuk ukuran negara berpendapatan menengah seperti Indonesia.
ADVERTISEMENT
Menurut Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Arief Anshory, ada sejumlah alasan mengapa pemerintah perlu segera melakukan pembaruan. Pertama, garis kemiskinan nasional saat ini hanya sedikit lebih tinggi dari batas kemiskinan ekstrem internasional, yang justru digunakan oleh negara-negara berpendapatan paling rendah.
Kedua, standar hidup masyarakat telah berubah drastis sejak 1998, sementara metode penghitungan Indonesia tidak ikut diperbarui. Ketiga, negara-negara lain di tingkat pendapatan serupa seperti Malaysia dan Vietnam sudah mengambil langkah serupa dalam beberapa tahun terakhir.
Keempat, jika angka kemiskinan tidak akurat, arah kebijakan yang bergantung pada data tersebut bisa meleset. Kelima, publik bisa kehilangan kepercayaan terhadap data resmi dan pemerintah jika angka kemiskinan tidak sesuai dengan kenyataan yang mereka alami.
“Revisi garis kemiskinan ekstrem Bank Dunia baru-baru ini dari USD 2.15 ke USD 3 juga disebabkan karena 70 persen negara acuan melakukan perubahan garis kemiskinan menjadi lebih tinggi. Semakin sejahtera aspirasi masyarakat akan kemiskinan meningkat, pola konsumsi juga meningkat,” kata Arief kepada kumparan, Rabu (11/6).
ADVERTISEMENT
Meski pembaruan ini dilakukan di tengah perubahan besar yang juga dilakukan Bank Dunia, pemerintah tidak serta-merta mengikuti standar internasional tersebut. Revisi ini sepenuhnya disusun berdasarkan kondisi dan kebutuhan dalam negeri, meskipun perbandingan dengan standar internasional tetap digunakan sebagai acuan pembanding.
Ia menjelaskan, saat ini Badan Pusat Statistik (BPS) tengah melakukan kajian dan simulasi beberapa alternatif metodologi baru, bekerja sama dengan Bappenas dan berkonsultasi dengan DEN.
“Iya sedang proses. Sekarang dalam proses kajian dan simulasi beberapa alternatif. Ini dilakukan oleh BPS berkoordinasi dengan Bappenas, berkonsultasi dengan DEN,” katanya.
Aturan baru ini ditargetkan selesai dan mulai digunakan paling lambat akhir tahun 2025. Meski langkah ini dianggap penting, Arief mengakui prosesnya tidak sepenuhnya mulus.
ADVERTISEMENT
Terdapat dua kekhawatiran yang selama ini menjadi penghambat. Pertama, risiko politisasi angka jika terjadi lonjakan besar dalam jumlah penduduk miskin setelah metode baru diterapkan. Namun, menurutnya, hal ini bisa diatasi dengan edukasi publik yang baik dan menyajikan dua versi data secara paralel dalam masa transisi.
Kedua, ada kekhawatiran kenaikan angka kemiskinan akan membebani anggaran perlindungan sosial. Tapi Arief menilai ini tidak beralasan, karena sebagian besar program bansos tidak menggunakan angka kemiskinan resmi sebagai satu-satunya dasar.
“Pemerintah memiliki sistem pensasaran tersendiri seperti Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) yang mempertimbangkan berbagai faktor spesifik untuk masing-masing program juga mempertimbangkan alokasi anggaran,” tegasnya.
Arief memastikan, pemerintah melalui BPS dan kementerian terkait kini tengah menyusun penyempurnaan metodologi. “Ya, saat ini BPS dan kementerian serta lembaga terkait sedang dalam proses menyusun penyempurnaan metodologi garis kemiskinan. Harapannya, dalam waktu dekat kita (tahun ini) akan memiliki acuan yang baru dan lebih mencerminkan realitas,” katanya.
ADVERTISEMENT