Ditjen Pajak Ungkap 4 Alasan Utama Mau Kenakan PPN Sembako hingga Sekolah

14 Juni 2021 15:04 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Sekolah Dasar Islam. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Sekolah Dasar Islam. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan mengungkapkan alasan utama mengubah rencana tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN), termasuk nantinya akan mengeluarkan barang kebutuhan pokok dan jasa pendidikan dari daftar pengecualian PPN.
ADVERTISEMENT
Adapun rencana pengenaan PPN pada sembako tertuang dalam revisi kelima Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kemenkeu Neilmaldrin Noor menjelaskan, ada empat faktor munculnya rencana perluasan PPN tersebut. Pertama, saat ini terdapat rentan harga yang sangat besar antara barang sembako yang dijual di pasar tradisional dengan barang sembako yang bersifat premium.
"Kita tahu semua bahwa rentan harga dari barang-barang tersebut seperti beras atau pun daging itu bisa berbeda sangat jauh, rentang harganya sangat lebar sehingga ketika terjadi pengecualian fasilitas maka semuanya ini tidak dikenai PPN. Seperti ini yang ingin kita jadikan tujuan pemajakannya lebih efisien," ujar Neilmaldrin saat media briefing, Senin (14/6).
ADVERTISEMENT
Kedua, otoritas pajak menilai selama ini pengecualian PPN yang berlaku tidak mencerminkan rasa keadilan, karena atas objek pajak yang sama dikonsumsi oleh golongan penghasilan yang berbeda, namun sama-sama dikecualikan dari pengenaan PPN.
Selain itu, perluasan objek PPN pada dasarnya mempertimbangkan prinsip ability to pay atau kemampuan membayar pajak para wajib pajak atas barang/jasa yang dikonsumsi.
“Maka harus ada pembeda antara kebutuhan pokok yang dibutuhkan oleh masyarakat secara umum, dengan kebutuhan pokok yang tergolong premium. Karena penghasilan yang mengonsumsinya berbeda-beda. Jadi untuk keadilan,” jelasnya.
Ilustrasi pedagang sembako. Foto: ANTARA FOTO / Makna Zaezar
Kendati begitu, Neil belum dapat merinci sembako premium jenis apa saja yang akan masuk dalam daftar pengenaan PPN. Namun dia mencontohkan, daging wagyu yang dijual eksklusif di pasar modern akan dikenakan PPN. Sementara itu, untuk daging sapi yang dijual di pasar tradisional akan tetap bebas PPN.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, ia menegaskan adanya wacana perluasan objek PPN tentunya tidak akan mencederai ekonomi masyarakat kelas menengah-bawah.
Lebih lanjut, faktor ketiga apabila dibandingkan negara-negara lain tarif PPN Indonesia termasuk relatif rendah.
“Rata-rata tarif PPN negara OECD mencapai 19 persen sedangkan negara BRICS sebesar 17 persen," tuturnya.
Ketiga, Neilmaldrin menyebut beberapa negara menggunakan PPN sebagai salah satu instrumen dalam rangka merespons pandemi COVID-19 dan mengoptimalkan penerimaan negara. Hal ini sejalan dengan banyak kebutuhan pendanaan dan penanganan COVID-19 di masing masing negara.
“Kemudian juga tarif standar PPN di 127 negara yaitu sekitar 15,4 persen dan juga banyak negara yang kemudian meninjau ulang tarif PPN dalam rangka menjaga prinsip netralitas," kata dia.
ADVERTISEMENT
Terakhir, terkait c-efficiency atau pengumpulan PPN Indonesia baru 0,6 persen atau 60 persen dari total PPN yang seharusnya bisa dipungut. Hal ini lebih rendah dibandingkan negara seperti Singapura, Thailand, dan Vietnam sudah lebih tinggi mencapai 80 persen.
“Dari berbagai hal yang tadi saya sampaikan dan ini menjadi bahan diskusi oleh pemerintah untuk melihat, apakah kita bangsa Indonesia ini bisa menggunakan salah satu opsi sebagai PPN sebagai salah satu respons untuk menghadapi situasi yang ada saat ini. Apalagi penerimaan pajak dari PPN cukup dominan kurang lebih sekitar 42 persen dari total penerimaan kita," pungkasnya.