Dituding Diskriminatif Terhadap Sawit, Uni Eropa Membantah

20 Maret 2019 21:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Buruh memanen kelapa sawit di Desa Sukasirna, Cibadak, Kabupaten Sukabumi. Foto: ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi
zoom-in-whitePerbesar
Buruh memanen kelapa sawit di Desa Sukasirna, Cibadak, Kabupaten Sukabumi. Foto: ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi
ADVERTISEMENT
Keputusan Komisi Uni Eropa (UE) menghentikan penggunaan kelapa sawit sebagai bahan bakar kendaraan dinilai Pemerintah Indonesia diskriminatif.
ADVERTISEMENT
Hal ini setelah Komisi Eropa merilis regulasi turunan (Delegated Act) dari kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) yang mengklasifikasikan kelapa sawit sebagai komoditas bahan bakar nabati yang tidak berkelanjutan dan berisiko tinggi ILUC (Indirect Land Use Change).
Menanggapi hal tersebut Duta Besar UE untuk Indonesia, Vincent Guerend, menegaskan bahwa keputusan UE tidak diskriminatif. Sebab, UE merupakan pasar yang terbuka dan besar bagi Indonesia.
"Saya kira (Pemerintah RI) seharusnya memperhatikan bahwa kami merupakan pasar (CPO) terbesar ke-2 bagi Indonesia. Dan bukan hanya itu, setelah India, baik China. Tapi pasar kita sangat terbuka," katanya saat ditemui di Gedung Kementerian Luar Negeri, Jakarta Pusat, Rabu (20/3).
Berdasarkan catatannya, lebih dari 65 persen sawit Indonesia diekspor ke UE dengan bea masuk 0 persen. Jika dibandingkan dengan negara lain seperti India yang memberikan bea masuk hingga 40 persen, UE jauh lebih terbuka.
ADVERTISEMENT
"Jadi kami memiliki market yang besar dan pasar yang sangat terbuka," imbuhnya.
Vincent menambahkan, selama ini UE memahami komoditas kelapa sawit sangat penting bagi Indonesia, termasuk dalam upaya pemberantas kemiskinan. Oleh karena itu pihaknya mendukung upaya pemerintah dengan konsep keberlanjutan seperti ISPO dan memoraturium sawit.
Terakhir, Vincent menyampaikan UE siap jika pemerintah membawa kepentingan ini ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Menurutnya, dalam sebuah perkara perdagangan antar negara memang sebaiknya diserahkan ke WTO.
"Jadi saya pikir keputusan tersebut layak untuk membawa perselisihan ini ke sana (WTO)," katanya.