Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
ADVERTISEMENT
“Kerja kantoran, aja. Lebih enak, jam kerjanya diatur, gaji tetap, tunjangan dapet. Jenjang karier juga ada kok!”
ADVERTISEMENT
“Kalau mau sukses itu jadi pengusaha. Punya usaha sendiri, enggak ikut orang lain. Jam kerja kita yang menentukan. Income bisa ngalir terus, gajiannya tiap hari!”
Menjadi pegawai atau wirausaha adalah dilema yang sering dihadapi milenial. Dua jenis pekerjaan ini memang sering dibanding-bandingkan. Pengusaha digambarkan sebagai status karier yang ideal. Sedangkan karyawan diberi label sebagai kelompok kerja yang masih menggantungkan hidupnya pada orang lain.
Dalam Teori Cashflow Quadrant dari Robert Kyosaki, jenis pekerjaan ini terpisah dalam dua kuadran berbeda. Pekerja, karyawan, pegawai, masuk dalam kuadran E (employee). Pekerjaan pada kuadran E adalah pekerjaan yang produktivitasnya dibatasi oleh usia dan jam kerja.
Artinya, kelompok ini menukarkan waktu dan tenaga mereka untuk diganti dengan uang dalam nilai tertentu dan dalam jangka waktu tertentu pula. Meski punya gaji tetap, namun kelompok kerja ini rentan terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
ADVERTISEMENT
Sedangkan pengusaha masuk dalam kuadran B (Business Owner). Pengusaha atau pemilik bisnis akan bertindak sebagai pemimpin, memiliki sebuah sistem dalam kegiatan bisnis dan bisa merekrut orang lain untuk bekerja di bawah naungannya.
Pengusaha dinilai memiliki kesempatan untuk memperoleh penghasilan yang lebih besar dibandingkan karyawan. Sebab produktivitasnya tidak dibatasi oleh jam kerja maupun usia. Meski pengusaha tidak bakal terkena PHK, namun risiko gagal (bangkrut) juga harus siap dihadapi.
Tak bisa dipungkiri, perbandingan-perbandingan tersebut berhasil menonjolkan superioritas pengusaha dibanding karyawan. Namun di balik dilema ini, ternyata ada pula sosok-sosok berani yang mencoba meleburkan kedua pekerjaan itu dalam satu genggaman. Jadi karyawan iya, jadi pengusaha juga iya.
Presenter Berbisnis Fashion
Monica Chua, contohnya. Ia bersama kedua kakaknya, Jessica Chua dan Fernika Thomas merupakan owner sekaligus designer dari sebuah brand fashion premium untuk anak-anak, Vior Bebe.
ADVERTISEMENT
Menurut Monica, awal kariernya dimulai dari mendirikan Vior Bebe pada November 2017. Saat itu, ia bersama Fernika dan Jessica mencoba untuk menciptakan pakaian anak-anak yang fashionable namun tetap nyaman dipakai.
“Kedua kakak aku itu ibu. Mereka punya anak-anak yang masih kecil. Kadang sebagai ibu, pengen anak-anaknya juga fashionable. Tapi seringkali dress untuk anak perempuan itu bahannya kurang nyaman, gatal dikulit. Akhirnya kami memutuskan untuk membuat produk baju anak-anak terutama dress, yang nyaman bahkan untuk dipakai sehari-hari,” cerita Monica kepada kumparan, Rabu (8/1).
Ketika memulai membangun Vior Bebe, Monica mengaku dirinya tak setengah hati. Mulai dari mendesain, pemilihan bahan baku, penentuan konveksi, semua ia lakukan sendiri. Tak hanya itu, demi meraih perhatian pasar, Monica juga menyiapkan pemotretan besar untuk katalog perdananya.
ADVERTISEMENT
“Pemotretan itu cukup besar ya. Kami pakai model internasional juga saat itu,” ujarnya.
Skala produksinya pun juga tak main-main. Monica terbilang berani untuk memproduksi baju anak-anak dalam skala besar. Bekerja sama dengan sebuah pabrik konveksi, ia memesan ribuan baju anak-anak, hasil desainnya bersama sang kakak.
Tidak heran jika saat memulai Vior Bebe, Monica mengaku menggelontorkan modal cukup besar.
“Waktu itu sampai ratusan juta, ya. Memang besar karena mass production dan pemotretannya juga besar,” ujarnya.
Gayung bersambut, produk Vior Bebe ternyata disambut baik di pasaran. Dengan gaya fashion yang modern dan bahan yang berkualitas premium, produk ini tak butuh waktu lama untuk membuat para mommies jatuh hati.
Namun, baru sekitar dua bulan berlabuh bersama Vior Bebe, Monica justru mengambil keputusan besar untuk dirinya. Pada Januari 2018, ia memutuskan untuk ‘kerja kantoran’ sebagai news anchor di salah satu stasiun TV swasta. Hebatnya, Monica tidak melepas Vior Bebe. Ia melakoni dua pekerjaan tersebut sekaligus.
ADVERTISEMENT
“Awalnya aku keteteran. Aku enggak bisa bohong soal itu. Dunia media sangat baru bagiku, jadi di awal-awal kerja aku harus banyak belajar. Tapi Vior Bebe juga harus tetap jalan,” kisahnya.
Sebagai awak media, Monica juga harus melakukan peliputan setiap hari, lima hari dalam seminggu. Terkadang, ia juga harus menyiapkan materi untuk wawancara one on one dengan beberapa narasumber. Tak hanya itu, Monica juga kebagian jatah on air dan tampil di layar televisi. Bahkan untuk salah satu program, Monica didapuk untuk presentasi dengan materi yang harus dia siapkan sendiri.
Dengan kesibukan sebagai news anchor, ditambah harus membagi waktu untuk Vior Bebe, Monica mengaku menghadapi banyak trial and error dalam manajemen waktu. Sampai-sampai dia beberapa kali jatuh sakit karena lelah dan stres.
ADVERTISEMENT
Tapi hal itu tak menyurutkan Monica. Buatnya, karena kedua pekerjaan tersebut adalah pilihannya, ia tak boleh menyerah.
“Never give up. Karena aku udah milih Vior Bebe dan pekerjaan aku sekarang, aku enggak boleh menyerah dan meninggalkan salah satunya,” ujarnya.
Ternyata tak butuh waktu lama bagi Monica untuk menikmati kedua pekerjaan tersebut. Lambat laun, ia menemukan ritme kerja yang pas. Ia mulai bisa menyesuaikan diri untuk membagi waktu antara menjadi anchor dan mengurusi bisnis.
Saat ini, Monica tetap menjadi desainer bagi Vior Bebe yang setiap tiga bulan sekali bakal merilis koleksi terbarunya. Selain itu, Monica juga berperan sebagai marketing. Ia masih pegang kendali untuk pemasaran lewat media sosial. Bahkan Monica juga masih terjun langsung untuk mengecek daftar pesanan dan juga urusan packing. Selain itu, Monica juga tetap aktif di media.
ADVERTISEMENT
“Jadi kalau pagi aku bikin presentasi dulu untuk tampil di TV, setelah itu beres, baru aku lanjut cek untuk Vior Bebe. Nanti Sabtu dan Minggu karena kantor libur, aku fulltime di Vior Bebe,” jelasnya.
Setelah wirausaha itu berjalan setahun, Vior Bebe kini bahkan sudah berekspansi hingga ke Negeri Jiran. Monica kini punya sekitar 10 karyawan untuk bagian produksi dan pemasaran. Omzetnya pun tak main-main, dalam satu koleksi yang dirilis setiap tiga bulan, keuntungan yang diraup menyentuh tiga digit.
“Omzet sekarang sekitar Rp 300 juta sampai Rp 500 juta untuk setiap koleksi,” ujarnya.
Ia bahkan berencana untuk membuat offline store dalam waktu dekat dan berekspansi ke Singapura.
Meski dua pekerjaan yang ia lakoni sangat berbeda, namun Monica mengaku sangat mencintai dan menikmati dalam menjalani keduanya.
ADVERTISEMENT
“Dua-duanya sama-sama aku rintis dari bawah,” ujarnya.
Jurnalis Usaha Sablon Kaos
Tak hanya Monica, semangat yang sama juga terlihat pada Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang. Bedanya, Marshall punya pekerjaan tetap lebih dulu, yaitu sebagai jurnalis di media cetak. Baru di 2018 lalu, ia mendirikan Wakaba, usaha sablon kaos atau yang sering disebut bengkel sablon. Meski demikian, Marshall mengaku dunia bisnis bukan hal yang baru buatnya. Sejak 2011, ia pernah jualan sepatu kulit. Lalu ia juga pernah menjajal bisnis kaos digital printing.
Dari kedua bisnis terdahulu inilah, Marshall mengantongi modal untuk mendirikan Wakaba.
“Seluruh uang yang dihasilkan dari bisnis sebelumnya, belum pernah dipakai. Akhirnya di Oktober 2018 mulai mencoba usaha kaos sablon dengan modal sekitar Rp 5 juta bernama Wakaba,” ujar Marshall kepada kumparan.
ADVERTISEMENT
Uang itu pertama kali dipakai patungan bersama dua orang teman untuk membuat peralatan kebutuhan produksi bengkel sablon. Tapi, karena terlalu sulit mengatur waktu, akhirnya Marshall memutuskan untuk memakai jasa pihak ketiga dengan skala usaha yang lebih besar.
Dalam menakhodai Wakaba, Marshall dibantu dua temannya tersebut. Ia berperan sebagai pemilik sekaligus marketing. Satu orang lainnya bertugas sebagai desainer dan pembuat konten, dan satu lainnya bertugas mengurus produksi, budgeting iklan, operasional dan lain-lain.
Meski tugas dipikul sama-sama, Marshall tak menampik bahwa awalnya ia kewalahan. Apalagi ketiganya juga sama-sama berstatus karyawan. Namun, ia bersama kedua rekannya mencoba untuk tetap solid. Komunikasi jadi kuncinya.
“Waktu merintis sambil kerja, pasti kewalahan banget karena dua orang teman saya pun sama-sama karyawan. Jadi, setiap akhir pekan kita memang selalu wajib ketemu untuk brainstorming, pembukuan, dan bicarain strategi bisnis ke depan,” kisahnya.
Meski awal mula sulit membagi waktu, tapi lambat laun semua berjalan lancar karena punya job desk masing-masing. Akhirnya, Marshall mulai merasa laju Wakaba makin seimbang dan santer sejak pertengahan 2019. Waktu itu mulai banyak pesanan yang datang. Uniknya, pesanan tersebut datang dari kolega tempat Marshall bekerja. Artinya, kedua pekerjaan yang awalnya membuat Marshal keteteran, kini menjadi saling membawa dampak yang positif.
ADVERTISEMENT
“Beruntung saya kerja sebagai jurnalis yang mengharuskan untuk selalu bertemu dengan narasumber. Tidak jarang juga, narasumber-narasumber itulah yang justru jadi klien besar di Wakaba,” ujarnya.
Terhitung sejak 2018, total omzet Wakaba tembus angka Rp 350 juta. Meski demikian, belum ada uang yang ia tarik sebagai pendapatan. Seluruhnya masuk ke instrumen investasi atau modal yang kemudian ia pakai untuk ekspansi bisnis lagi.
Menurutnya, Wakaba merupakan bentuk investasi baginya. Marshall pun punya planning agar bisnis ini bisa bertahan jangka panjang. Untuk itu, dalam waktu dekat, Marshal belum punya rencana menggunakan profitnya, semua masih ia jaga dalam bentuk modal.
“Profitnya masih belum seberapa, karena 50 persen profit selalu disisipin di deposito atau instrumen investasi tabungan emas,” ujarnya.
Saat ini, Wakaba sudah melayani banyak klien, dari yang besar, sedang sampai kecil. Selain itu, Wakaba juga punya beberapa produk kaos yang didesain sendiri untuk dijual lewat sosial media atau bazzar. Bahkan Marshall juga tak cepat puas. Kalau sebelumnya hanya melayani pesanan kaos, sekarang Wakaba sudah merambah ke seragam, celana, hingga hoodie. Tak menutup kemungkinan, Marshall juga ingin berekspansi dengan menambah ragam produk lainnya.
ADVERTISEMENT
Naik turun, asam manis melakoni dua pekerjaan tersebut justru membuat Marshall semakin menikmatinya. Hingga saat ini, ia masih memilih untuk menjalani keduanya sekaligus.
“Sampai saat ini sih masih tetep memilih untuk jadi karyawan sekaligus pengusaha, karena sebenarnya Wakaba ini semacam investasi saya,” ujarnya.
Menurutnya, di usia yang sekarang, mau tidak mau ia harus punya penghasilan tambahan atau minimal investasi untuk jangka panjang. Salah satu sumbernya tentu wirausaha itu.
“Terpenting banget, semua usaha harus lebih dulu punya target pasar, modal, dan strategi bisnis kalau pengen berumur panjang usahanya,” tandasnya.