Ekonom: Kebijakan Hilirisasi di RI Kontradiktif dengan Upaya Kerja Sama Dagang

9 Juli 2023 16:28 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Nikel sulfat hasil pemurnian bijih nikel kadar rendah oleh PT Halmahera Persada Lygend. Foto: Trimegah Bangun Persada
zoom-in-whitePerbesar
Nikel sulfat hasil pemurnian bijih nikel kadar rendah oleh PT Halmahera Persada Lygend. Foto: Trimegah Bangun Persada
ADVERTISEMENT
Langkah Presiden Jokowi mengencangkan hilirisasi sembari melarang ekspor bijih nikel dinilai ekonom kontradiktif dengan kerja sama dagang internasional.
ADVERTISEMENT
Menurut Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, pelarangan total ekspor juga tidak sejalan dengan upaya pemerintah untuk mendorong kerja sama perdagangan di berbagai forum internasional.
"Sebenarnya hilirisasi tidak masalah, tapi cara hilirisasi perlu dievaluasi. Soal model proteksi dagang lewat pelarangan total bijih nikel memicu retaliasi atau balasan dari negara mitra dagang," kata Bhima saat dihubungi kumparan, Minggu (9/7).
"Pelarangan total ekspor juga tidak sejalan dengan upaya pemerintah misalnya di berbagai forum internasional untuk mendorong kerja sama perdagangan," sambungnya.
Selain itu, pelarangan ekspor bijih nikel ternyata memicu aktivitas perdagangan ilegal yang menimbulkan kerugian besar. Ia menilai pelarangan ekspor nikel ini menjadi sia-sia karena banyak pintu untuk membuka pintu ekspor ilegal.
"Artinya, percuma ada pelarangan bijih nikel tapi banyak pintu untuk ekspor ilegal. Masalah hilirisasi yang ada sekarang lemah di pengawasan," ujar Bhima.
ADVERTISEMENT
Ekonom INDEF Bhima Yudhistira. Foto: Jafrianto/kumparan
Bhima juga mengatakan program hilirisasi nikel yang ada saat ini telah memberikan intensif pajak yang kurang tepat sasaran. Ia mengatakan pemerintah perlu menggeser tax holiday yang ternyata hanya mendorong hilirisasi.
"Misalnya nikel hanya jadi pig iron dan feronikel. Idealnya tax holiday dalam rangka hilirisasi perlu didorong untuk menghasilkan produk final dalam bentuk baterai atau mobil listrik misalnya," ujarnya.
Selain itu, kebocoran terkait harga jual bijih nikel domestik yang lebih rendah dibanding harga internasional bisa membuat penerimaan negara di hulu tambang ikut rendah. Ia mengatakan dengan perbaikan skema insentif dan pengawasan hilirisasi, maka nilai tambah dan keuntungan investasi bisa lebih optimal.
"Kalau model hilirisasi seperti saat ini maka negara akan terus merugi, potential loss pajaknya besar sekaligus multiplier effect-nya jadi parsial," ujar dia.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, Menteri ESDM Arifin Tasrif menolak permintaan IMF, karena nikel bukanlah komoditas terbarukan. Arifin mengatakan hilirisasi nikel harus dilakukan di Indonesia.
Ia menyebut tak merasa takut jika IMF menggugat Indonesia lantaran kekeh untuk melarang ekspor nikel. Ia justru menyarankan IMF untuk bekerja sama membangun fasilitas pengolahan di Indonesia.
"Jangan dong, kenapa melarang? Ini bukan barang gak terbarukan. Kita berjuang untuk masa depan. Kita harus mempertahankan semaksimal mungkin. Kenapa mereka tidak mau kerja sama, kenapa gak mau bangun fasilitas processing di sini?," ungkap Arifin.