Ekonom Khawatir Iuran Tapera Dipakai Pemerintah untuk Tambal APBN

7 Juni 2020 17:55 WIB
Suasana pembangunan perumahan bersubsidi. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Suasana pembangunan perumahan bersubsidi. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
Pemerintah baru saja mengesahkan peraturan terkait Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera. Keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 itu mengharuskan setiap pekerja menjadi peserta dan membayar iuran.
ADVERTISEMENT
Munculnya aturan yang cukup mengikat pekerja di tengah pandemi itu lantas menuai kritikan dari banyak pihak.
Ekonom Indef Bhima Yudhistira menilai, momentum dikeluarkannya aturan tersebut sangat tidak tepat. Pasalnya, tidak sedikit pekerja yang kehilangan penghasilan dan terkena PHK akibat pandemi COVID-19.
"Apalagi ada pasal sanksi administratif berupa denda yang memberatkan pengusaha. Meskipun ada persiapan 7 tahun, tapi dalam kurun waktu tersebut ekonomi diperkirakan belum akan masuk dalam pemulihan yang optimal," ujar Bhima kepada kumparan, Minggu (7/6).
Peneliti Indef Bhima Yudhistira saat menghadiri Diskusi Kinerja OJK Ditengah Kasus Jiwasraya, Selasa (28/1). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Selain itu, ia khawatir akan adanya tumpang tindih penggunaan iuran yang disetorkan peserta. Bhima menilai, ada banyak pasal yang memungkinkan iuran tersebut justru dimanfaatkan untuk menutupi defisit anggaran pemerintah atau APBN.
"Motif terselubungnya kelihatan jelas di pasal 27 dalam PP Tapera bahwa dana bisa diinvestasikan ke surat utang pemerintah, berarti pekerja diminta secara tidak langsung iuran untuk beli SBN. Ini dilakukan karena pemerintah sedang cari sumber pembiayaan baru di tengah pelebaran defisit anggaran," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Belum lagi sejumlah hal teknis yang nantinya justru semakin mempersulit para pekerja, seperti banyaknya syarat-syarat. Walaupun program tersebut tetap berjalan, ia meyakini juga tidak akan bisa menampung seluruh pekerja yang membutuhkan rumah.
Sementara itu, Direktur Riset Core Indonesia Piter Abdullah menyarankan, pemerintah mesti menghapus semua program kredit rumah murah lainnya. Langkah itu perlu dilakukan agar program bisa efektif dan tidak bertabrakan.
"Program lainnya memang harus dihapus agar tidak overlapping, ini bukan masalah menguntungkan atau tidak. Pemerintah kan tidak cari untung, tapi bagaimana agar program ini efektif," ujar Piter.