Ekonom Khawatir Permendag 8/2024 Bisa Gerus Pertumbuhan Ekonomi RI

24 Juni 2024 17:16 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana gedung-gedung bertingkat di Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
zoom-in-whitePerbesar
Suasana gedung-gedung bertingkat di Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
ADVERTISEMENT
Ekonom Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Fahmi Wibawa, menyebut Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 sebagai penyebab gempuran produk impor barang jadi, utamanya tekstil, di Indonesia. Dia mengatakan, aturan tersebut dapat meningkatkan nilai impor dan memberikan pengaruh terhadap nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
ADVERTISEMENT
Nilai impor Indonesia pada Mei 2024 mencapai USD 19,40 miliar, naik 14,82 persen secara bulanan (month to month/mtm) namun turun 8,83 persen secara tahunan (year on year/yoy). Impor nonmigas sebesar USD 16,65 miliar, naik sebesar 19,70 persen mtm namun turun 8,23 persen yoy dan impor migas sebesar USD2,75 miliar, turun 7,91 persen mtm dan 12,34 persen yoy.
“Ya memang kalau kita baca keseluruhan Permendag No 8/2024, sepertinya memang ibarat menggelar karpet merah buat importir produk-produk jadi. Betapa tidak, terdapat tujuh substansi dalam Permendag No. 8/2024, enam di antaranya secara eksplisit menyiratkan relaksasi impor,” ujar Fahmi yang juga merupakan Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), dalam keterangannya, Senin (24/6).
ADVERTISEMENT
Ia juga mengkritik Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto yang mendapatkan apresiasi dari pelaku usaha asing, namun justru menambah tekanan pada pelaku usaha dalam negeri.
Ilustrasi pabrik tekstil. Foto: Getty Images
Pada 29 Mei 2024, beberapa kamar dagang asing menyampaikan apresiasi kepada Airlangga atas terbitnya Permendag 8/2024 yang menggantikan Permendag 36/2023. Fahmi mengingatkan Airlangga Hartarto dan Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan untuk segera mengerem relaksasi impor agar tidak merugikan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
“Permendag 8/2024 sebaiknya kembali direvisi dengan mengikutsertakan asosiasi-asosiasi industri dan kamar dagang, supaya duduk bersama guna mengetahui secara detail aspirasi dari kedua belah pihak. Karena jika kebijakan impor ini terelaksasi sangat luas, efek domino yang terjadi bukan main bahayanya,” jelasnya.
Ia pun meminta agar Airlangga dan Zulhas memiliki peran sebagai penyeimbang pada pelaku industri dalam negeri. World Trade Organization (WTO) menegaskan, negara/anggota dapat mengambil tindakan pengamanan (safeguard) untuk melindungi industri domestik dari dampak negatif perdagangan bebas.
ADVERTISEMENT
“Nah, sebenarnya impor tetap dibutuhkan jika bahan baku atau produk tersebut memiliki permintaan yang tinggi namun belum mampu diproduksi di dalam negeri. Artinya dukungan terhadap perdagangan internasional tidak harus dengan membuka pintu tanpa menyaring dengan bijak. Jika pemerintah terkesan lebih mendukung produk impor, maka rencana TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) yang dari dulu digadang-gadangkan pemerintah pun menjadi sia-sia,” kata Fahmi.
Menurut Fahmi, Permendag 8/2024 mulai dirasakan imbasnya oleh industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Padahal, industri ini memberikan kontribusi ke PDB sebesar 1,05 persen.
“Permendag 8/2024 ini saja sudah cukup melukai hati para pelaku industri dalam negeri. Akan banyak pelaku industri yang gulung tikar, dengan konsekuensi pengangguran akan semakin besar. Selain itu, rupiah juga akan makin melemah karena permintaan terhadap dolar AS semakin tinggi,” kata dia.
ADVERTISEMENT
Sejumlah asosiasi industri tekstil telah menyampaikan kekecewaan terhadap Permendag 8/2024. Setelah aturan ini terbit, puluhan ribu kontainer yang izin-izin impornya bermasalah pada 17 Mei 2024 justru dilepaskan. Hal ini membuat pelaku industri dalam negeri, utamanya tekstil, kehilangan kontrak karena pelanggannya memilih untuk melakukan impor.
“Dunia bisnis tentu mencari profit dengan pengorbanan serendah-rendahnya. Produk impor nyatanya mampu menawarkan harga yang lebih murah dengan kualitas yang sama atau mungkin lebih baik dari produk dalam negeri. Bila ini terus berlanjut, industri manufaktur dalam negeri akan berjatuhan dan pengangguran tenaga terampil industri akan meningkat,” pungkasnya.