Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Ekonom Nilai Tunda Nikah dan Punya Anak Jadi Ancaman Serius Bagi Ekonomi RI
29 Desember 2022 18:00 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Fenomena nunda nikah dan mempunyai momongan dinilai menjadi ancaman serius bagi ekonomi Indonesia. Pasalnya, jika jumlah orang muda berkurang, otomatis tingkat konsumsi masyarakat di Indonesia juga ikut menurun.
ADVERTISEMENT
"Kenaikan upah dengan kenaikan biaya hidup itu tidak berimbang. Tahun 2022, harga pangan sempat naik 10 persen termasuk kebutuhan gizi untuk ibu hamil, sementara upah minimum naik cuma 1 persen," kata Bhima kepada kumparan, Kamis (29/12).
Tak hanya itu, adanya fenomena generasi sandwich atau generasi yang terhimpit karena harus membiayai dua generasi sekaligus yaitu orang tua dan anaknya dalam waktu bersamaan juga turut membuat generasi muda berpikir ulang untuk memiliki momongan.
ADVERTISEMENT
"Tuntutan sosial pun berubah, sebelumnya kalau sudah lulus kuliah akan ditanya kapan menikah, sekarang pertanyaan pertama justru 'sudah kerja di mana?'. Jadi anak muda di Indonesia itu tantangannya lebih berat, sulit cari kerja apalagi menanggung biaya berkeluarga," terang Bhima.
Bhima menegaskan, fenomena menunda anak dapat mengancam demografi dan produktivitas jangka panjang. Lebih lanjut, dia memproyeksi 20 tahun ke depan bisa saja rasio kebergantungan di Indonesia menjadi tinggi, artinya anak muda makin menanggung beban orang yang masuk usia lansia non produktif.
"Itu ancaman serius, bisa jebol jaring pengaman sosial," beber Bhima.
Sementara itu, Direktur Eksekutif INDEF, Tauhid Ahmad mengungkapkan terdapat tiga faktor yang membuat generasi muda memilih untuk menunda anak. Pertama, faktor ekonomi dan pendidikan. Menurutnya, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin logis pula pemikirannya.
ADVERTISEMENT
"Jadi ketika mereka melihat belum mapan atau siap secara ekonomi, mereka melakukan penundaan. Mereka umumnya punya cita-cita harus punya rumah dulu, siapkan biaya anak dulu," terang Tauhid.
"Kalau dulu justru banyak anak banyak rezeki, kalau sekarang nggak lagi," tambahnya.
Faktor kedua adalah sosial psikologi. Umumnya, masyarakat yang tinggal di perkotaan lebih memilih untuk menunda memiliki momongan ketimbang masyarakat di pedesaan. Sebab, tingkat sosial dan psikologi masyarakat perkotaan jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan kondisi sosial psikologi masyarakat pedesaan yang memiliki pikiran 'banyak anak banyak rezeki'.
Faktor ketiga adalah kesehatan. Generasi muda umumnya sangat kritis terhadap kesehatan, apalagi kelompok rentan yang memiliki jenis penyakit turunan. Mereka lebih memilih untuk menunda memiliki momongan, ketimbang menurunkan penyakit kepada anak.
ADVERTISEMENT
"Dampak menunda momongan, tentu angka kelahiran akan semakin berkurang. Ketika berkurang berarti usia muda berkurang. Konsumsi orang muda lajunya sangat tinggi, makin tua makin rendah," kata Tuhid.
Hal tersebut tentu akan menggerus pertumbuhan ekonomi Indonesia yang ditopang oleh tingginya konsumsi masyarakat.
Sementara itu, Praktisi Perbankan BUMN dan Pemerhati Ekonomi Sosial dan Ekosistem Digital, Chandra Bagus Sulistyo, menilai fenomena menunda anak di Indonesia sangat tinggi trennya sebelum pandemi COVID-19 menghantam Indonesia. Orang muda cenderung ingin meniti karier ketimbang memiliki momongan.
"Kita tau data BPS ini ternyata tingkat kelahiran di antara para pasangan muda sudah mulai menggeliat lagi. Artinya proses penundaan anak di milenial terjadi sebelum pandemi. Ketika pandemi berubah semuanya," kata Chandra.
ADVERTISEMENT
Chandra menilai, fenomena menunda memiliki anak tidak terlalu berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.
"Tren menunda anak di Indonesia di kalangan milenial karena meniti karier memang ada tapi terdistrak oleh COVID-19. Apakah ada hubungannya dengan ekonomi? Tidak ada," pungkasnya.