Ekonom: Pasar Domestik Harus Dikuasai UMKM Lokal, Jangan Barang Impor China

30 September 2023 18:32 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira. Foto: Ulfa Rahayu/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira. Foto: Ulfa Rahayu/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ekonom sekaligus Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai seharusnya pasar domestik bisa dikuasai UMKM Indonesia, bukan malah dikuasai oleh barang impor asal China.
ADVERTISEMENT
"Memang belakangan UMKM bersaing dengan barang impor dari China via e-commerce hingga pasar fisik. UMKM butuh support pemerintah lewat perlindungan impor, subsidi bunga yang lebih besar, sertifikasi, kenaikan kapasitas SDM digital, hingga biaya logistik yang lebih kompetitif," kata Bhima kepada kumparan, Sabtu (30/9).
Secara kuantitas, jumlah UMKM Indonesia sebenarnya mencapai 90,3 persen dari UMKM di ASEAN. Namun UMKM Indonesia yang berorientasi ekspor masih hanya 14,4 persen.
Menurut Bhima, selama ini UMKM ekspor belum banyak manfaatkan cross border e-commerce karena edukasi yang belum masif. Dia menyarankan pemberdayaan dan pelatihan UMKM pemerintah yang begitu banyak tersebar di berbagai kementerian/lembaga hingga BUMN sebaiknya difokuskan untuk UMKM yang berorientasi ekspor.
"Logikanya Indonesia punya 275 juta penduduk, 65 juta unit UMKM, sementara China 1,4 miliar penduduk yang harusnya produk UMKM bisa ekspansi ke China dengan potensi pasar yang jauh lebih besar. Jangan dibalik, UMKM harus bersaing di dalam negeri dengan barang impor China," tegas Bhima.
ADVERTISEMENT
Terpisah, Ekonom Core Indonesia, Yusuf Rendy Manilet menjabarkan permasalahan yang dialami UMKM membuat sulit naik kelas, seperti masalah akses pembiayaan yang tidak mudah.
"Belum lagi kalau kita bicara masalah akses pasar. Jangankan ke luar negeri, di dalam negeri saja saya kira tidak banyak kita jumpai produk UMKM yang dijual luas oleh ritel-ritel modern saat ini," ujarnya.
Persoalan lain yang dia catat adalah akses ke luar negeri yang masih terganjal standardisasi dan sertifikasi. Selain itu, UMKM Indonesia juga dia nilai masih terhambat di ongkos produksi sehingga membuat harga mereka kalah bersaing dengan produk impor dari China.
"Seperti kemudahan dalam mendapatkan akses bahan baku, kemudian juga masalah biaya yang menentukan harga pokok produksi seperti misalnya biaya listrik, kemudian sewa gedung, dan juga rata-rata kalah potongan pajak atau pun retribusi yang harus dibayar UMKM, merupakan contoh lain yang kemudian bisa membedakan harga pokok produksi yang dijual oleh UMKM dan social commerce," pungkas Yusuf.
ADVERTISEMENT