Ekonom Pertanyakan Cara Bedakan Sedimen dan Pasir Laut saat Diekspor

19 September 2024 15:50 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi tambang pasir laut. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tambang pasir laut. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Presiden Joko Widodo (Jokowi) merestui keran ekspor pasir laut dibuka kembali setelah sempat dilarang sejak 20 tahun lalu. Meski begitu, Jokowi menegaskan yang diperbolehkan adalah sedimen, bukan pasirnya.
ADVERTISEMENT
Kebijakan ekspor pasir laut berlaku usai Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Zulhas) mendapat usulan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) agar merevisi dua Peraturan Menteri Perdagangan di bidang ekspor.
Dua aturan yang direvisi oleh Zulhas yaitu Permendag Nomor 20 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22 Tahun 2023 tentang Barang yang Dilarang untuk Diekspor dan Permendag Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 23 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor.
Ekonom senior Samuel Sekuritas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi, menegaskan bahwa kebijakan itu sangat salah untuk diterapkan. Pasalnya, belum ada yang bisa memastikan bagaimana membedakan dan mengontrol antara pasir dan sedimen laut yang akan diekspor.
ADVERTISEMENT
"Wah salah banget itu. Ketika diekspor ke Singapura misalnya, itu siapa yang bisa membedakan ini hasil sedimen atau pasir laut? Kita kan tidak tau. Siapa yang bisa mengontrolnya?" tegasnya saat ditemui awak media di Sarinah Jakarta, Kamis (19/9).
Fithra menilai, tidak baik bagi pemerintah mengejar pertumbuhan ekonomi dari ekspor pasir laut, namun malah mengorbankan masalah lingkungan. Menurutnya, hal ini adalah pertimbangan intertemporal.
"Jangan sampai sekarang ya dikeruk segala macam, eh tapi nanti pulaunya sudah tidak ada. Jangan-jangan nanti Pulau Riau di tahun 2045 sudah hilang karena dikeruk semua," tuturnya.
Fithra mengakui ekspor pasir laut memang bisa meningkatkan penerimaan negara, namun hal ini tidak akan berlaku jangka panjang karena komoditas tersebut sama sekali tidak memiliki nilai tambah.
ADVERTISEMENT
"Kita ekspor itu kan sudah beralih paradigmanya dari produk mentah, nah ini apalagi masa pasir yang kita ekspor, itu tidak ada nilai tambahnya sudah gitu merusak lingkungan," jelasnya.
Selain itu, kata dia, kebijakan ekspor pasir laut ini juga bisa berdampak buruk kepada citra Indonesia di mata negara maju, terutama Uni Eropa yang berkomitmen karena tidak selaras dengan konsep ekonomi hijau.
"Tentunya dampak investasi ke depan, dampaknya mungkin Uni Eropa atau negara-negara maju lain akan semakin enggan untuk melakukan investasi di kita karena tidak mematuhi peraturan-peraturan green economy," tandas Fithra.
Sebelumnya, Presiden Jokowi menjelaskan jenis pasir yang disebut dalam aturan tersebut merupakan jenis sediman. Pasir ini menurut mantan wali kota Solo itu mengganggu alur operasional kapal.
ADVERTISEMENT
"Sekali lagi, bukan [pasir], nanti kalau diterjemahkan pasir beda loh ya, sedimen itu beda, meskipun wujudnya juga pasir, tapi sedimen. Coba dibaca di situ, sedimen," katanya di Menara Danareksa, Jakarta Pusat, Selasa (17/9).