Ekonom Sebut Masalah Industri Sekarang Bukan Kredit, tapi Lemahnya Permintaan

26 Desember 2024 21:00 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda, di Perpusnas, Jumat (22/9/2023). Foto:  Ghinaa Rahmatika/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda, di Perpusnas, Jumat (22/9/2023). Foto: Ghinaa Rahmatika/kumparan
ADVERTISEMENT
Langkah pemerintah yang akan memberikan stimulus kredit investasi padat karya untuk revitalisasi mesin dengan anggaran hingga Rp 20 triliun, dinilai bisa menambah berat beban industri.
ADVERTISEMENT
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, memandang hal ini akan terjadi jika insentif tersebut tidak diiringi dengan pemulihan permintaan. Sebab permasalahan inti industri saat ini adalah mengenai lemahnya permintaan.
Meski begitu, Nailul juga melihat industri bisa memanfaatkan stimulus kredit itu untuk bertahan hidup dan bukan untuk berekspansi.
“Sudah tidak laku, ditambah utang bank pula. Berat bagi pengusaha tersebut untuk bisa bertahan. Maka masalah di Indonesia saat ini di demand yang sangat terbatas kemampuannya. Solusinya adalah meningkatkan demand melalui penguatan daya beli masyarakat,” ujar Nailul kepada kumparan, Kamis (26/12).
Untuk memperkuat suplai, Nailul mengatakan Indonesia juga memiliki keterbatasan pasokan. Sehingga penurunan harga barang dengan efisiensi juga mengundang risiko.
ADVERTISEMENT
“Dari sisi supply bisa dengan menurunkan harga melalui efisiensi. Tapi kan barang modal kita terbatas pasokannya dalam negeri. Kemampuan kita terbatas,” tutur Nailul.
Senada dengan Nailul, Ekonom Center of Reform on Economic (CORE), Yusuf Rendy Manilet, memandang jika industri akan memanfaatkan insentif ini, maka bukan dipergunakan untuk ekspansi, melainkan memaksimalkan utilitas yang ada.
“Dengan masih relatif rendahnya permintaan terhadap produk industri padat karya maka industri akan memaksimalkan utilitas yang ada saat ini dan tidak akan menambah kapasitas produksi sebelum utilitas yang ada saat ini habis dipakai,” kata Yusuf kepada kumparan.
Sehingga, dia melihat pemerintah seharusnya meneken tambahan insentif utamanya di sektor energi. Sebab, banyak sektor industri yang banyak menggunakan energi untuk proses produksinya.
ADVERTISEMENT
“Pemerintah perlu mempertimbangkan untuk menambah insentif dalam bentuk lain yang akan mempengaruhi beban biaya produksi seperti harga listrik ataupun gas terutama pada jam-jam produksi yang sangat tinggi,” terang Yusuf.
Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta pada Jumat (20/12). Foto: Argya D. Maheswara/kumparan
Sebelumnya, Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan angka yang disiapkan pemerintah untuk skema kredit investasi padat karya senilai Rp 20 triliun, untuk mendukung revitalisasi mesin. Tujuannya untuk meningkatkan daya saing industri nasional, sehingga bisa menciptakan lapangan kerja baru.
"Pemerintah menyediakan anggaran subsidi bunga atau marjin yang cukup untuk proyeksi penyaluran skema kredit investasi padat karya ini mencapai target penyaluran sebesar Rp 20 triliun pada tahun 2025,” kata Airlangga dalam keterangan resminya, Kamis (26/12).
Airlangga menjelaskan skema kredit ini menawarkan sejumlah fitur plafon pinjaman di atas Rp 500 juta hingga Rp 10 miliar dengan suku bunga atau margin yang lebih rendah dari kredit komersial dan jangka waktu pinjaman fleksibel antara 5 sampai 8 tahun.
ADVERTISEMENT
Skema kredit ini ditujukan untuk sektor-sektor industri padat karya, seperti pakaian jadi, tekstil, furnitur, kulit, barang dari kulit, alas kaki, mainan anak, serta makanan dan minuman.