Ekonom Senior Indef Kritik Pemerintah Jokowi yang Tambah Utang Saat Pandemi

14 Oktober 2020 11:50 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ekonom Senior INDEF Didik J. Rachbini Foto: Selfy Sandra Momongan	/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ekonom Senior INDEF Didik J. Rachbini Foto: Selfy Sandra Momongan /kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pandemi COVID-19 membuat pemerintah dianggap menambah utang negara dalam jumlah yang besar. Ekonom senior INDEF Didik J Rachbini mengatakan di tahun 2019, pemerintah Presiden Jokowi berutang sampai Rp 921 triliun. Ia mengakui di tahun 2020 pemerintah berencana menurunkan penerbitan utang baru menjadi Rp 651 triliun.
ADVERTISEMENT
Namun, rencana tersebut tidak terlaksana karena krisis akibat adanya pandemi. Didik menyayangkan pandemi malah membuat utang pemerintah bertambah besar.
“Setelah COVID apa yang terjadi? Ini untuk Rp 921 triliun untuk membayar utang jatuh tempo makin lama makin besar, tapi setelah ada COVID utang tahun 2020 dari (rencana) Rp 651 diubah semau atau seenak udel-nya, seenak perutnya jadi 1.530 triliun,” kata Didik saat webinar yang digelar Politeknik STIA LAN Bandung, Rabu (14/10).
Didik menilai utang baru tersebut sangat besar dibandingkan dengan jumlah anggaran pendidikan yang mencapai Rp 70 triliun. Selain itu, ia memastikan presiden setelah Jokowi akan menanggung utang yang besar.
“Jadi Rp 1.530 triliun ini perilaku yang luar biasa, semau gue, dan nanti akan membayar utang menurut saya setiap tahun hampir Rp 1.000 triliun, dan Jokowi akan mewariskan utang terbesar dalam sejarah kepada presiden berikutnya,” ujar Didik.
Ketua DPR Puan Maharani (kanan) menerima Supres untuk Perppu 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan dari Menkeu Sri Mulyani. Foto: ANTARA FOTO/Raqilla
Di tengah kondisi itu, Didik menyayangkan DPR tidak bisa mengontrol apa yang dilakukan pemerintah. Ia menganggap DPR kali ini adalah selemah-lemahnya parlemen. Sebab, kata Didik, DPR hanya bisa ikut saja apa yang dinginkan pemerintah.
ADVERTISEMENT
“Jadi pemerintahan sekarang ini kekuatan itu sudah bergeser dari era reformasi di DPR, sekarang sudah bergeser kepada eksekutif. Jadi DPR nya hanya ngikut saja apa yang dimau eksekutif, eksekutifnya kuat. Saya tidak mengatakan jongos tapi apa saja yang disampaikan eksekutif jalan,” ungkap Didik.
“Nah contoh Omnibus Law itu dari langit ada diskusi langsung ditempel kepada pemerintah enggak pakai naskah akademik, evaluasi UU itu. Ini menurut saya satu praktik legislasi yang luar biasa buruk, sangat buruk,” tambahnya.

Utang Baru Pemerintah Capai Rp 693 Triliun

Pemerintah telah menarik utang baru di tahun ini mencapai Rp 693,6 triliun per akhir Agustus 2020. Pembiayaan utang tersebut dilakukan demi menutup defisit APBN yang realisasinya mencapai Rp 500,5 triliun hingga akhir bulan lalu.
ADVERTISEMENT
Realisasi pembiayaan utang tersebut tumbuh 143,3 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu (yoy). Padahal di akhir Agustus 2019, pembiayaan utang hanya Rp 290,7 triliun atau tumbuh 3,2 persen (yoy).
Secara rinci, pembiayaan utang terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 671,6 triliun (neto) atau tumbuh 131 persen (yoy) per Agustus 2020. Sementara untuk pinjaman Rp 22 triliun (neto) atau turun 486,5 persen.
"Ini kenaikan luar biasa, yakni 143 persen dari tahun lalu. Beban APBN kita luar biasa berat dan ini terlihat dari sisi pembiayaannya," ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa, Selasa (22/9).
Tahun ini, pemerintah menargetkan pembiayaan utang mencapai Rp 1.220,5 triliun. Angka ini naik signifikan dari target tahun lalu yang hanya Rp 359,3 triliun. Sri Mulyani menambahkan, utang baru pemerintah membengkak karena karena adanya pandemi COVID-19.
ADVERTISEMENT