
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengeluhkan jebolnya kuota BBM subsidi. Hal ini dikarenakan konsumsi BBM jenis Pertalite hingga Juli 2022 sudah mencapai 16,8 juta kilo liter (KL) atau setara dengan 73,04 persen dari total kuota yang ditetapkan sebesar 23 juta KL, sehingga subsidi hanya tersisa 6,2 KL.
“Tidak bisa dihindari pemerintah akan dihadapkan pada dilemma yang sulit. Jika menambah kuota BBM subsidi, beban APBN untuk subsidi bisa semakin membengkak hingga melebihi Rp 600 triliun,” ujar Fahmy dalam keterangan resminya, Jumat (12/8).
Fahmy melanjutkan, jika pemerintah tidak menambah kuota BBM subsidi, maka menurutnya kelangkaan akan terjadi di berbagai SPBU, yang berpotensi menyulut keresahan sosial.
Kendati demikian, Fahmy mengkritik Menteri ESDM Arifin Tasrif yang tidak banyak berkutik atas kondisi ini.
“Menteri ESDM Arifin Tastrif hanya bisa menghimbau agar orang kaya tidak menggunakan BBM subsidi. Tasrif yang biasanya irit bicara, sekali berbicara tidak punya makna sama sekali,” jelasnya.
Menurutnya konsumen sebagai mahluk yang rasional memiliki kehendak sendiri untuk tetap mengonsumsi BBM dengan harga yang lebih murah jika belum ada larangan
Sedang memuat...
0 01 April 2020
S
Sedang memuat...
“Arifin melupakan tabung LPG 3 kg tertulis hanya untuk orang miskin, faktanya lebih 60 persen kosumen yang bukan miskin tetap mengkonsumsi gas melon karena distribusi terbuka,” terangnya.
Fahmy menegaskan bahwa solusi untuk mengatasi penggunaan BBM subsidi dapat melalui pembatasan yang tegas dan lugas.
Menurut Fahmy melalui MyPertamina, pemerintah tidak akan berhasil membatasi BBM subsidi agar tepat sasaran. “Bahkan, justru menimbulkan ketidak-tepatan sasaran dan ketidak-adilan bagi konsumen yang tidak punya akses,” tambahnya.
Solusi Jebolnya Konsumsi BBM Bersubsidi
Fahmi lalu memberikan dua solusi untuk mencegah jebolnya BBM bersubsidi. Solusi pertama menurut Fahmy, menetapkan segera Perpres yang menegaskan bahwa hanya sepeda motor dan kendaraan angkutan orang dan angkutan barang yang diperbolehkan menggunakan Pertalite dan Solar.
Kedua, menurunkan disparitas yang menganga antara harga Pertamax dan Pertalite dengan menaikkan harga Pertalite dan menurunkan harga Pertamax secara bersamaan.
“Maksimal selisih harga sebesar Rp 1.500 per liter. Kebijakan harga ini diharapkan akan mendorong konsumen Pertalite migrasi ke Pertamax secara suka rela,” ungkapnya.
Tidak hanya itu, Fahmy mengatakan perlu dilakukan komunikasi publik secara besar-besaran untuk mengingatkan masyarakat bahwa sesungguhnya penggunaan Pertamax sesungguhnya lebih baik untuk mesin kendaraan dan lebih irit.
“Untuk mencegah jebolnya kuota BBM bersubsidi tidak bisa hanya dengan mengeluh dan menghibau saja. Namun perlu kebijakan tegas dan lugas yang segera diberlakukan, tidak mundar-mundur saja,” pungkasnya.