Ekonomi RI Akibat Corona Diprediksi Terburuk Sejak Krisis 98, Apa Dampaknya?

6 April 2020 13:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas medis bersiap di ruang instalasi gawat darurat Rumah Sakit Darurat Penanganan COVID-19 Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta, Senin (23/3).  Foto: ANTARA FOTO/Kompas/Heru Sri Kumoro
zoom-in-whitePerbesar
Petugas medis bersiap di ruang instalasi gawat darurat Rumah Sakit Darurat Penanganan COVID-19 Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta, Senin (23/3). Foto: ANTARA FOTO/Kompas/Heru Sri Kumoro
ADVERTISEMENT
Pandemi virus corona terhadap ekonomi diproyeksi akan lebih buruk dibandingkan krisis keuangan yang terjadi pada 1998-1999. Sebab tak hanya sektor keuangan saja yang tertekan, namun juga sektor riil, termasuk UMKM dan informal, yang terganggu akibat pandemi COVID-19.
ADVERTISEMENT
Padahal di 1998-1999, UMKM menjadi salah satu sektor penyelamat krisis keuangan. Namun saat ini, sejumlah pelaku usaha kecil dan menengah juga mengalami kesulitan.
Lembaga pemeringkat internasional Moody’s Investors Service memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini hanya 3 persen. Pertumbuhan ini merupakan yang terendah sejak krisis ekonomi melanda Asia tahun 1998-1999.
Tak hanya itu, Moody’s juga memproyeksi defisit transaksi berjalan Indonesia akan melebar 3,5 persen di tahun ini, dari tahun lalu yang hanya 2,7 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Kurs yang melemah dan rendahnya harga minyak global akan memberikan tekanan eksternal bagi Indonesia.
Penurunan cadangan devisa Indonesia juga akan lebih cepat. Hal ini lantaran derasnya modal asing yang keluar dan intervensi bank sentral untuk menstabilkan rupiah. Dalam skenario terburuknya, Moody’s memperkirakan cadangan devisa RI akan turun di bawah USD 96 miliar.
ADVERTISEMENT
Lalu, seperti apa dampak dari proyeksi memburuknya ekonomi makro Indonesia terhadap sektor riil?
Petugas medis memeriksa kesiapan alat di ruang ICU Rumah Sakit Darurat Penanganan COVID-19 Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta, Senin (23/3). Foto: ANTARA FOTO/Kompas/Heru Sri Kumoro
Direktur Eksekutif Core Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, pertumbuhan ekonomi yang menurun akan berdampak pada pengangguran. Bahkan dalam risetnya, Core Indonesia memproyeksi ekonomi RI bisa minus 0,2 persen di tahun ini.
Jumlah pengangguran terbuka pun diprediksi akan meningkat 1 persen di tahun ini. Selain itu, jumlah pengangguran yang terselubung dan separuh menganggur juga diperkirakan akan lebih banyak.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pengangguran terbuka di Indonesia naik 50.000 orang di Agustus 2019. Sehingga total orang yang menganggur menjadi 7,05 juta di Agustus 2019.
Angka tersebut meningkat jika dibandingkan Agustus 2018 yang sebanyak 7 juta orang menganggur. Bahkan jika dibandingkan dengan Agustus 2017 yang sebanyak 7,04 juta orang dan Agustus 2016 sebanyak 7,03 juta orang.
ADVERTISEMENT
Sementara Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) turun menjadi 5,28 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 5,34 persen.
“Pengangguran terbuka bisa meningkat sampai 1 persen, tapi di luar itu yang lebih besar lagi adalah peningkatan pengangguran terselubung dan yang separuh menganggur,” kata Faisal saat dihubungi kumparan, Senin (5/4).
Sementara bagi masyarakat yang masih bekerja, diprediksi akan mengalami penurunan pendapatan. Utamanya di sejumlah sektor yang terdampak.
Virus corona juga akan memukul ekspor dan efeknya akan berantai hingga ke sektor konsumsi rumah tangga dan investasi. Daya beli juga diperkirakan akan rendah di tahun ini.
Isolasi diri atau pembatasan aktivitas yang terjadi di China selama beberapa bulan lalu juga mengganggu ketersediaan barang impor yang berasal dari China. Akibatnya, industri atau sektor yang bahan bakunya berasal dari China akan mengalami gangguan produksi.
ADVERTISEMENT
“Begitu juga barang konsumsi, jika pasokan lokal tak tersedia, maka harga akan meningkat,” katanya.
GAP di Grand Indonesia (Ritel yang akan tutup). Foto: Yuana Fatwalloh/kumparan
Sementara untuk sektor perbankan, Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede memperkirakan, wabah corona akan berdampak pada risiko peningkatan kredit macet atau Non Performing Loan (NPL).
Namun menurutnya, dengan kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menunda pembayaran cicilan kredit bagi pelaku usaha yang terdampak corona, akan sedikit menahan kenaikan NPL.
Hingga akhir Februari 2020, NPL perbankan mencapai 2,97 persen (gross) dan 1,00 persen (net).
"Potensi kenaikan NPL perbankan yang tajam diperkirakan akan menurun dengan adanya restrukturisasi tersebut," jelas Josua.
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!
ADVERTISEMENT