Eks Dirjen Pajak: Banyaknya Nomor Identitas WNI Hambat Penerimaan Negara

1 September 2021 18:32 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Hadi Poernomo. Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.
zoom-in-whitePerbesar
Hadi Poernomo. Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.
ADVERTISEMENT
Mantan Dirjen Pajak tahun 2001-2006, Hadi Poernomo, membeberkan sejumlah faktor penghambat tercapainya target penerimaan negara, utamanya pajak. Salah satunya adalah banyaknya nomor identitas yang dimiliki setiap warga negara Indonesia.
ADVERTISEMENT
Setidaknya ada 32 identitas seorang WNI, seperti NIK, nomor KK, nomor SIM, nomor paspor, nomor akta kelahiran, dan lain sebagainya. Menurut dia, banyaknya nomor yang ada dalam seorang WNI tersebut justru memberi kesulitan, baik dari warga negara itu sendiri, maupun bagi negara.
“Kesulitan bagi negara, khususnya bagi aparat pajak, dengan banyaknya nomor identitas yang tersebar tersebut adalah sulit untuk mengidentifikasi kebenaran SPT (Surat Pemberitahuan), mengenai harta seorang wajib pajak yang dilaporkan dalam SPT tersebut,” ujar Hadi dalam keterangannya, Rabu (1/9).
Dengan sulitnya mengidentifikasi kebenaran SPT, maka penerimaan negara pun tak optimal. Untuk itu, pemerintah saat ini dinilainya perlu untuk membuat terobosan agar target pajak tercapai.
Menyadari hal tersebut, pemerintah sejak tahun 2001 telah mencanangkan sebuah nomor bersama sebagai Single Identity Number (SIN) Pajak yang menyatukan banyak identitas warga negara ke dalam satu nomor bersama. SIN Pajak sendiri mengadopsi konsep transparansi, khususnya transparansi perpajakan.
Ilustrasi pelaporan SPT Pajak tahunan. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
SIN Pajak adalah penyatuan data secara online dan terintegrasi seluruh data baik keuangan maupun non keuangan yang digunakan sebagai data pembanding atas laporan perpajakan dari wajib pajak. SIN Pajak dibentuk ke dalam sebuah sistem informasi yang terintegrasi di mana berisi data-data baik finansial maupun non finansial.
ADVERTISEMENT
Dirjen Pajak era Presiden Gusdur, Megawati, dan SBY itu menjelaskan, Indonesia memang telah memiliki KTP elektronik. Namun, KTP elektronik tersebut belum dapat menjadi sebuah identitas tunggal karena hanya memuat data-data kependudukan.
“Hal tersebut berbeda dengan SIN Pajak yang memuat tidak hanya data non finansial, namun juga memuat data finansial dari seorang warga negara. Data tersebutlah yang menjadi dasar bagi aparat pajak untuk melakukan pengujian SPT dari wajib pajak,” jelasnya.
Di sisi lain, dasar hukum yang telah lengkap tersebut menjadikan SIN Pajak tersebut menjadi lebih kuat untuk dijadikan nomor tunggal yang digunakan secara bersama-sama.
Dalam UU KUP, konsep SIN sebagai manajemen informasi perpajakan dinyatakan sebagai kewajiban bagi setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, untuk memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak. Dalam hal data dan informasi yang diberikan dianggap tidak mencukupi, maka Direktur Jenderal Pajak berwenang menghimpun data dan informasi untuk kepentingan penerimaan negara yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
ADVERTISEMENT
Data yang interkoneksi secara online dan tidak adanya campur tangan manusia dalam pengambilan data dan pengujian link and match menjadikan pengujiannya bersifat objektif. Mekanisme seperti ini akan dapat membuat penerimaan pajak tercapai.
“Hal tersebut dikarenakan tidak adanya lagi celah bagi Wajib Pajak untuk menyembunyikan sesuatu atau aparat pajak bermain-main karena seluruh celah kecurangan akan dapat diketahui dengan mudah dengan mekanisme pencocokan data pada Pusat Data,” tuturnya.