Eks Dirjen Pajak Beberkan Strategi Naikkan Tax Ratio Indonesia

13 Oktober 2021 14:27 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi pelaporan SPT Pajak Tahunan. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pelaporan SPT Pajak Tahunan. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo menyebut pajak menjadi modal bagi Indonesia saat ini untuk menjadi negara maju di tahun 2045. Namun sayangnya, rasio pajak (tax ratio) justru terus mengalami penurunan.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data Ditjen Pajak, rasio pajak atau penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) selama sepuluh tahun terakhir mengalami penurunan. Pada tahun 2010 sebesar 12,9 persen, sementara di 2020 hanya 8,94 persen.
Adapun di tahun ini, rasio pajak ditargetkan sebesar 8,18 persen. Sementara di 2022, target rasio pajak bisa mencapai 8,42 persen, bahkan bisa mencapai 10,12 persen di 2025 dengan adanya UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
"Modal utama dari negara adalah sektor perpajakan. Namun ironisnya sektor perpajakan terus menerus mengalami penurunan performa. Hal tersebut dibuktikan dengan terus menurunnya tax ratio," ujar Hadi dalam keterangannya, Rabu (13/10).
Untuk itu, katanya, diperlukan adanya sebuah perubahan dalam sistem perpajakan. Salah satunya adalah penggunaan teknologi dalam sebuah bank data perpajakan.
ADVERTISEMENT
Perubahan mendasar dalam reformasi perpajakan terjadi di tahun 1983, di mana sistem pemungutan pajak berubah menjadi self assessment system, dari sebelumnya official assessment system.
Namun menurut Hadi yang juga Tenaga Ahli Kemenko Perekonomian itu menjelaskan, sistem tersebut memiliki kelemahan yang sangat mencolok, yaitu ketiadaan data pembanding yang dimiliki petugas pajak atas laporan yang diberikan oleh wajib pajak. Hal tersebut memberikan kesempatan bagi wajib pajak untuk melakukan ketidakjujuran dalam laporan pajak.
Hadi Poernomo. Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.
Mantan Dirjen Pajak era Presiden Gus Dur, Megawati, dan SBY ini menyebut, untuk menaikkan penerimaan sekaligus rasio pajak, perlu adanya single identity number (SIN) pajak.
"Untuk itulah, DJP mencoba mewujudkan SIN Pajak dalam bank data perpajakan, yang digunakan sebagai data pembanding bagi petugas pajak atas laporan-laporan pajak dari wajib pajak," jelasnya.
ADVERTISEMENT
SIN Pajak dalam bank data perpajakan memberikan solusi dalam rangka pencapaian target penerimaan perpajakan, baik melalui ekstensifikasi maupun intensifikasi perpajakan. Dengan menggunakan data SIN Pajak dalam bank data perpajakan, Ditjen Pajak dapat memetakan sektor-sektor mana yang belum tersentuh pajak atau celah dalam perpajakan.
SIN Pajak juga dinilai mampu menyediakan data-data wajib pajak yang belum membayar kewajiban perpajakannya. Pemetaan tersebut adalah dengan konsep link and match di mana uang atau harta baik dari sumber yang legal maupun ilegal selalu digunakan dalam tiga sektor, yaitu konsumsi, investasi, dan tabungan.
Dalam konsep SIN Pajak, tiga sektor tersebut wajib memberikan data dan terhubung secara sistem dengan sistem perpajakan. Artinya uang dari sumber yang legal maupun ilegal tersebut dapat terekam secara sempurna dalam sistem perpajakan
ADVERTISEMENT
"Wajib pajak akan menghitung pajak dan mengirimkan SPT ke DJP. Sehingga SIN Pajak akan dapat memetakan data yang benar dan data yang tidak benar, serta data yang tidak dilaporkan dalam SPT," kata dia.
"Tidak ada harta yang dapat disembunyikan oleh wajib pajak. Sehingga wajib pajak akan patuh membayar kewajiban perpajakannya, karena tidak adanya celah untuk menghindar dari kewajiban perpajakan," tambahnya.