Eks Dirjen Pajak Khawatir Rencana Tax Amnesty Jilid II Bikin Kepatuhan Menurun

7 Juli 2021 13:14 WIB
·
waktu baca 2 menit
clock
Diperbarui 13 Agustus 2021 13:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sejumlah orang di Kantor Pusat Ditjen Pajak. Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah orang di Kantor Pusat Ditjen Pajak. Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay
ADVERTISEMENT
Pemerintah berencana akan melakukan kembali program pengampunan pajak atau tax amnesty jilid II. Namun mantan Dirjen Pajak, Darmin Nasution, menilai hal ini akan menurunkan kepatuhan wajib pajak.
ADVERTISEMENT
"Saya ingin ingatkan bahwa persoalan seperti ini, akan banyak pengaruhnya ke compliance (kepatuhan) dari wajib pajak. Artinya, Oh kalau begitu, ini pemerintah nanti juga dia bikin lagi, ngapain kita ikut?" kata Darmin saat rapat dengar pendapat umum dengan Komisi XI DPR RI, Rabu (7/7).
Mantan Menko Perekonomian itu pun menyoroti rentang waktu tax amnesty yang terlalu panjang dalam Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP), yakni sejak 1985-2015 dan 2015-2019.
Adapun dalam draf RUU KUP yang diterima kumparan, pengampunan pajak akan dikenakan pada dua golongan. Pertama, pengakuan harta yang diperoleh wajib pajak sejak 1 Januari 1985 hingga 31 Desember 2015 yang kurang atau belum diungkapkan saat tax amnesty jilid I.
ADVERTISEMENT
Kedua, pengakuan harta yang diperoleh sejak 1 Januari 2016 hingga 31 Desember 2019 yang kurang atau belum diungkapkan dalam surat pemberitahuan pajak tahunan.
"Itu panjang sekali periodenya," katanya.
Untuk itu, Darmin Nasution merekomendasikan tax amnesty jilid II untuk dilakukan dalam periode yang lebih singkat. Apalagi, pemerintah telah melakukan sunset policy pada 2007.
Mantan Gubernur Bank Indonesia itu pun menyarankan agar tax amnesty jilid II bisa memiliki waktu lebih singkat dengan tarif yang tak terlalu ringan.
"Jadi kalau bisa hanya 1985-2006 atau sebelum sunset policy, ini tarifnya 15 persen dan 12,5 persen kalau dia investasikan ke SBN minimal 5 tahun," katanya.
Skema selanjutnya tarif tax amnesty jilid II yang direkomendasikan Darmin adalah penghasilan yang tidak atau kurang bayar sejak 2008-2015 dengan tarif normal 30 persen, dan 25 persen untuk diinvestasikan di SBN minimal 5 tahun.
ADVERTISEMENT
"Sementara aturan lain yang lebih teknis, prosedur itu tetap mengikuti apa yang disiapkan di dalam RUU ini," tambahnya.
Mantan Menko Perekonomian Darmin Nasution menerima cinderamata dari para wartawan. Foto: Nicha Muslimawati/kumparan
Sebelumnya, Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan ada dua skema dalam rencana program pengampunan pajak teranyar tersebut. Pertama, pengungkapan aset per 31 Desember 2015 yang belum dilaporkan oleh para peserta tax amnesty tahun 2016-2017 lalu. Kebijakan ini berada dalam 37B-37D RUU KUP.
Alumni tax amnesty 2015-2016 itu akan dikenai pajak penghasilan (PPh) Final sebesar 15 persen atas nilai aset yang belum diungkapkannya. Namun, jika aset tersebut diinvestasikan dalam Surat Berharga Negara (SBN) yang ditentukan oleh pemerintah, maka berlaku tarif PPh Final lebih rendah yakni 12,5 persen.
Suryo mengatakan ketentuan lainnya untuk wajib pajak alumni tax amnesty 2016-2017 yang gagal menginvestasikan asetnya dalam SBN maka harus membayar 3,5 persen dari nilai aset jika mengungkapkan sendiri kegagalan investasi di SBN.
ADVERTISEMENT
Namun, apabila Ditjen Pajak yang menemukannya maka harus membayar 5 persen dari nilai SBN yang gagal diinvestasikan.
“Bahwa masih banyak terdapat peserta pengampunan pajak yang belum mendeklarasikan asetnya. Kemudian dirasa apabila dilakukan pemeriksaan oleh kami, PPh final 30 persen plus sanksinya 200 persen. Jadi masih ada yang tertinggal, bisa ikut program ini,” ujar Suryo.