Ekspor Kelapa Bakal Kena Bea Keluar, Industri dalam Negeri Harus Siap Tampung

28 September 2024 17:19 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pekerja mencuci daging buah kelapa sebelum diolah menjadi minyak kelapa murni. Foto: Syifa Yulinnas/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Pekerja mencuci daging buah kelapa sebelum diolah menjadi minyak kelapa murni. Foto: Syifa Yulinnas/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Guna mendukung hilirisasi, pemerintah akan mengendalikan ekspor kelapa dengan mengenakan pungutan pada setiap kegiatan ekspor kelapa dan mencegah ekspor ilegal.
ADVERTISEMENT
Langkah ini diyakini bisa mendorong ekspor kelapa yang sudah diolah dalam negeri. Kendati begitu, pemerintah diminta hati-hati dalam mengimplementasikannya.
Pengamat ekonomi pertanian Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Eliza Mardian, menyebut pemerintah perlu memperhatikan jangan sampai bea keluar ditetapkan namun industri dalam negeri belum siap menampung kelapa sebagai bahan baku. Jika itu terjadi, akan terjadi oversupply yang berdampak anjloknya harga pangan pada petani.
“Pengenaan bea keluar ini diharapkan mendorong untuk mengekspor produk olahan bukan raw material, namun pemerintah mesti hati-hati. Jangan sampai bea keluar dikenakan, industri dalam negeri belum siap menampung," kata Eliza pada kumparan, Sabtu (28/9).
"Sehingga terjadi oversupply di dalam negeri, secara psikologis mempengaruhi harga pasar dan membuat harga kelapa di petani menjadi anjlok. Ini akan memberi tekanan di level petani,”
ADVERTISEMENT
Eliza bilang, saat ini memang mayoritas perkebunan kelapa adalah perkebunan rakyat. Menurut paparan Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas), berdasarkan luas area, 98,95 persen kebun kelapa merupakan perkebunan rakyat.
Eliza menyarankan agar pemerintah juga dapat memberikan insentif untuk industri dalam negeri dalam hilirisasi kelapa.
Ilustrasi kebun kelapa. Foto: Shutterstock
“Semestinya yang didorong ini adalah insentif untuk industri dalam negeri mengembangkan hilirisasi kelapa, tidak perlu mega investasi, investasi skala kecil hingga menengah pun bisa asalkan didukung dengan bauran kebijakan yang memadai dan tepat sasaran,” saran Eliza.
Selain itu, Eliza menyebut pengolahan kelapa masih sangat potensial. Selama ini, Indonesia juga masih mengimpor komoditas hasil olahan kelapa dari Singapura dan Filipina.
“Sebetulnya untuk hilirisasi masih banyak potensinya misal seperti pengembangan tepung kelapa, kelapa parut, kelapa kering dan minyak kelapa. Indonesia masih impor komoditas-komoditas tadi dari Filipina dan Singapura padahal Singapura ini bukan produsen kelapa, Singapura mengimpor kelapa dari negara lain lalu mengeskpornya kembali setelah melakukan penyortiran dan pengolahan.” terangnya.
ADVERTISEMENT
Soal pemungutan bea keluar untuk ekspor kelapa, Eliza memperkirakan langkah tersebut bukan hanya untuk hilirisasi, namun juga karena pemerintah sedang menggenjot penerimaan untuk membiayai defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Selain akan mendorong industri hilirisasi kelapa dalam negeri, pemerintah pun terlihat sedang menggenjot penerimaan untuk membiayai defisit APBN dibandingkan periode agustus 2023, realisasi penerimaan agustus 2024 ini relatif lebih kecil, sementara dari sisi belanjanya terus bertambah,” lanjut Eliza.