Ekspor Pupuk USD 1 Miliar Terancam Aturan Eropa, Ini Solusi Kemenko Marves

19 Juni 2024 15:11 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kemenko Marves, Jodi Mahardi, di IPA Convex ke-48, Rabu (15/5/2024). Foto: Fariza Rizky Ananda/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kemenko Marves, Jodi Mahardi, di IPA Convex ke-48, Rabu (15/5/2024). Foto: Fariza Rizky Ananda/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) mengungkapkan potensi ekspor pupuk Indonesia sebesar USD 1 miliar terancam aturan Mekanisme Penyesuaian Perbatasan Karbon (Carbon Border Adjustment Mechanism/CBAM).
ADVERTISEMENT
Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kemenko Marves, Jodi Mahardi, mengatakan pengembangan hidrogen hijau dan biru yang ramah lingkungan salah satunya penting untuk produksi amonia bersih bagi produksi pupuk Indonesia.
Jodi mengatakan, industri pupuk sangat besar di Indonesia dengan ukuran pasar domestik sebesar USD 4,5 miliar. Meski demikian, ekspor pupuk dari Indonesia berpotensi terganjal aturan CBAM yang akan berlaku di Uni Eropa pada 2026, jika masih mengandalkan hidrogen abu-abu.
"Hal ini (hidrogen bersih) juga membantu kita mengatasi risiko ekspor pupuk senilai 1 miliar dolar AS melalui Mekanisme Penyesuaian Perbatasan Karbon, atau yang kita kenal sebagai CBAM, peraturan yang diberlakukan oleh beberapa negara maju," ungkapnya saat acara Indonesia International Hydrogen Summit 2024, Rabu (19/6).
ADVERTISEMENT
Jodi melanjutkan, pasar pupuk di Indonesia terus berkembang secara signifikan setiap tahunnya yang dapat mengadopsi hidrogen rendah karbon ketika harganya kompetitif.
"Pada tahun 2023, PT Pupuk Indonesia (Persero) tercatat memproduksi 18,7 juta ton pupuk dengan perkiraan ukuran pasar nasional sebesar 4,5 miliar dolar AS," tuturnya.
Di sisi lain, Jodi juga optimistis Indonesia bisa ekspor hidrogen hijau dan biru. Dia mengatakan permintaan hidrogen global diperkirakan akan meningkat lebih dari empat kali lipat antara tahun 2020 dan 2050, mencapai 469 juta ton per tahun.
"Pada tahun 2023, 1.418 proyek hidrogen ramah lingkungan diumumkan secara global, meningkat 36 persen dari tahun sebelumnya dan mewakili investasi sebesar USD 570 miliar," ujarnya.
Jodi menambahkan, salah satu kegunaan utama hidrogen bersih adalah untuk dekarbonisasi proses industri seperti manufaktur kimia dan penyulingan minyak, yang saat ini menggunakan hidrogen abu-abu. Hidrogen bersih juga dapat digunakan di sektor transportasi.
ADVERTISEMENT
Dia menilai, Indonesia bisa menjadi pemimpin pada produksi hidrogen biru karena melimpahnya sumber daya gas alam dan kapasitas penyimpanan CO2, terbesar kedua dan ketiga di Asia Pasifik.
Selain itu, Indonesia juga mempunyai potensi besar produksi hidrogen hijau berkat sumber daya listrik panas bumi dalam negeri yang merupakan terbesar kedua di dunia, dan potensi kapasitas tenaga surya lebih dari 200 gigawatt (GW).
Dengan demikian, Jodi menilai industri hidrogen di Indonesia akan membawa manfaat ekonomi yang besar. Potensi tersebut berasal dari dua pasar utama, pertama pasar ekspor sebab lokasi strategis Indonesia di negara dengan permintaan hidrogen tinggi, seperti Jepang, Korea Selatan, dan Singapura dengan permintaan hidrogen gabungan sebesar 4 juta ton pada 2023.
ADVERTISEMENT
"Permintaan ini hampir seluruhnya dipenuhi dengan hidrogen berbasis fosil. Kita berada dalam posisi yang baik untuk memenuhi sebagian dari permintaan ini melalui ekspor hidrogen rendah karbon di masa depan," ungkap Jodi.
Sebelumnya, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut Uni Eropa akan memberlakukan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) yang akan dilakukan di tahun 2026. Industri besi dan baja akan menjadi subjek dari regulasi CBAM ini.
Airlangga menjelaskan, melalui regulasi CBAM, negara-negara yang memproduksi besi dan baja bisa dikenakan pajak lingkungan unilaterally oleh Eropa apabila di negara tersebut perusahaan-perusahaan belum membayar pajak karbon.
"Kebijakan-kebijakan tersebut akan mengganggu upaya Indonesia terkait dengan mitigasi perubahan iklim dan Indonesia seperti negara lain terikat Paris Agreement dan UN 2030 SDGs agenda," tegas dia saat webinar Green Economy Forum, Rabu (7/6).
ADVERTISEMENT