Ekspor RI Terancam Rugi Rp 104 T Imbas Regulasi Deforestasi Eropa

13 Juli 2023 14:33 WIB
ยท
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan paparan dalam rapat kerja bersama Badan Anggaran (Banggar) DPR di kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (9/6/2023). Foto: ANTARA FOTO/Aqila Budiati
zoom-in-whitePerbesar
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan paparan dalam rapat kerja bersama Badan Anggaran (Banggar) DPR di kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (9/6/2023). Foto: ANTARA FOTO/Aqila Budiati
ADVERTISEMENT
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan bahwa regulasi EU Deforestation-Free Regulation (EUDR) yang diterapkan oleh Uni Eropa bisa menyebabkan kerugian USD 7 miliar atau sekitar Rp 104 triliun (kurs Rp 14.977 per dolar AS) pada ekspor komoditas perkebunan dan peternakan Indonesia.
ADVERTISEMENT
"Dari hasil ini EUDR akan kena pada 7 komoditas yaitu sapi, kakao, sawit, soya, timber (kayu), dan karet. Di sini mereka minta agar barang yang masuk Uni Eropa adalah deforestation free tergantung kepada UU di negara masing-masing," kata Airlangga di Istana Presiden, Kamis (13/7).
Airlangga menjelaskan, melalui regulasi EUDR ini negara-negara termasuk Indonesia akan diklasifikasikan menjadi risiko tinggi, risiko menengah (standard risk), dan risiko rendah. Airlangga mengatakan kebijakan tersebut akan berdampak pada perkebunan di Indonesia. "Nah, produk Indonesia yang terdampak senilai USD 7 miliar," tegas Airlangga.
Untuk itu pemerintah Indonesia mengajak Malaysia melakukan joint mission. Airlangga mengatakan pemerintah Malaysia menerima usulan Indonesia tersebut.
Pada kesempatan yang sama, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengatakan Indonesia akan melakukan perlawanan terhadap regulasi EUDR mengajak negara yang juga dirugikan seperti Malaysia.
ADVERTISEMENT
"Itu undang-undang sangat diskriminatif ditujukan hanya untuk kita, produk-produk kita. Kopi, lada, cokelat, sawit, karet, cengkeh yang nanti dikaitkan dengan deforestasi. Itu sangat diskriminatif," kata Zulhas.