ESDM: Meski Tak Ada DMO, Alokasi Gas Domestik Sudah Lebih Besar dari Ekspor

16 Juli 2024 14:38 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi pipa gas PGN. Foto: Dok. PGN
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pipa gas PGN. Foto: Dok. PGN
ADVERTISEMENT
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan, pemanfaatan gas bumi untuk keperluan domestik sudah lebih besar daripada ekspor, meskipun belum ada kebijakan Domestic Market Obligation (DMO).
ADVERTISEMENT
Ide implementasi DMO gas digaungkan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) sebesar 60 persen, sementara sisanya 40 persen untuk ekspor. Hal ini seiring dengan berlanjutnya program Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT).
"Sebenrnya tidak perlu DMO pun pasti kondisi kita saat ini lebih dari 60 persen sudah di domestik kok penggunan gas kita," kata Direktur Pembinaan Program Migas Kementerian ESDM, Mirza Mahendra, saat Diskusi CSIS dan Tenggara Strategics, Selasa (16/7).
Berdasarkan catatan Kementerian ESDM, volume pemanfaatan gas bumi untuk domestik sebanyak 5.868,52 BBTUD pada tahun 2023, sementara ekspor sekitar 1.794 BBTUD.
Tercatat, volume pemanfaatan gas bumi domestik sudah lebih besar dibandingkan ekspor sejak tahun 2012 dan konsisten hingga saat ini.
Adapun pemanfaat gas bumi terbesar adalah sektor industri sebesar 30,83 persen, pupuk 11,72 persen, dan ketenagalistrikan 11,82 persen. Sementara porsi ekspor dari total pemanfaatan gas bumi yakni LNG 22,12 persen dan gas pipa 8,45 persen.
Direktur Pembinaan Program Migas Kementerian ESDM, Mirza Mahendra, saat ditemui di Auditorium CSIS Selasa (16/7/2024). Foto: Fariza Rizky Ananda/kumparan
Mirza memastikan, pemerintah terus meningkatkan penyerapan gas di dalam negeri, salah satunya dengan pembangunan pipa gas dari West Natuna Transportation System (WNTS) menuju Batam (Pulau Pemping) agar pasokan gas dari kawasan Natuna yang awalnya diekspor ke Singapura, bisa dialirkan kembali ke Indonesia.
ADVERTISEMENT
"Itu kurang lebih 5 kilometer, begitu itu pipa terkoneksi kita sudah bisa memanfaatkan kembali gas yang ada di Natuna kembali ke Sumatera, bisa kembali ke Pulau Jawa," jelasnya.
Ditemui setelah acara, Mirza belum bisa membeberkan lebih lanjut progres diskusi wacana DMO gas 60 persen antara Kementerian ESDM bersama Kemenperin. Hanya saja, dia menegaskan kembali data bahwa pemanfaatan gas domestik sudah lebih besar dari ekspor walaupun masih ada kontrak ekspor yang masih berlaku.
"Cuma kita terikat kontrak yang lama aja ya, kan pada pengembangan Blok Natuna itu kita dulu gas siapa sih yang ngambil? Kalau mau jujur, dulu kan nggak ada yang mau ngambil? Sekarang aja rebutan. Nah dulu untuk pengembangan Blok Natuna itu makanya dibangun pipa ke Singapura," ungkapnya.
Ilustrasi pipa gas PGN. Foto: PGN
Mirza mengungkapkan, seiring pembangunan pipa gas WNTS menuju Batam, kontrak ekspor gas dari Natuna untuk Singapura akan berakhir tahun 2027. Meski begitu, dia tidak membeberkan lebih lanjut rincian Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG) tersebut.
ADVERTISEMENT
"Tapi itu insya Allah tahun 2027 kan habis kontraknya, Komitmen kita berarti Sudah selesai dong, Bisa kita balik ke Indonesia dong," pungkasnya.
Sebelumnya, Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita memberikan bocoran isi Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) HGBT, salah satunya menaikkan volume gas bumi yang harus disalurkan ke industri.
Semula, aturan domestic market obligation (DMO) gas untuk kebutuhan dalam negeri 40 persen dan 60 persen untuk ekspor. Kini dibalik, DMO gas untuk industri lebih besar daripada ekspor.
"Dalam RPP ini juga diatur adanya DMO, kami tetapkan 60 persen untuk dalam negeri dan 40 persen ekspor. Hari ini tanpa ada regulasi apa pun, 40 persen dari nasional untuk industri dan pupuk, belum termasuk untuk ketenagalistrikan," katanya di Kantor Kemenperin, Jakarta, Selasa (9/7).
ADVERTISEMENT
Agus berharap adanya DMO yang lebih besar ini bisa memenuhi kebutuhan gas untuk industri yang menurut hitungannya, selama ini jauh lebih murah jika impor. Sebagai contoh, impor gas bumi dari Qatar USD 2 per MMBTU. Ketika gasnya masuk ke plant, menjadi USD 4,5 per MMBTU yang menurut dia masih lebih murah dibandingkan harga yang dipatok pemerintah saat ini USD 6 per MMBTU.