Eugenie Patricia Agus, Membangun Puyo dengan 'Kelembutan'

18 Juli 2018 18:03 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Jangan pernah meremehkan jika ada lelaki atau seorang ayah yang gemar memasak tanpa resep. Jika itu sudah hobinya, biarkan hobi itu terus lanjut, karena bisa jadi keahlian mereka dalam memasak jadi cikal-bakal lahirnya sebuah perusahaan makanan besar.
ADVERTISEMENT
Dua pemuda asal Jakarta, Adrian Christopher Agus dan Eugenie Patricia Agus, punya cerita seru soal ayah mereka yang gemar memasak tanpa resep. Hebatnya, semua masakan sang ayah itu, selalu enak untuk dinikmati walau tidak pernah mengikuti resep.
Salah satu makanan yang suka dibikin oleh ayah mereka adalah puding. Ini bukan puding yang biasa-biasa saja. Puding ini punya tekstur yang lembut, begitu juga dengan rasanya yang sedap. Rasa berkelas ini kemudian jadi inspirasi bagi Chrsitopher dan Eugenie untuk membawa makanan penutup itu ke tahap yang lebih serius: bisnis makanan penutup.
Adrian, yang waktu itu berusia 22 tahun, dan Eugenie yang berusia 19 tahun, melakukan sejumlah eksperimen terhadap puding yang dibuat oleh sang ayah. Mereka memberi kesempatan kepada sejumlah orang untuk mencicipi puding buatan sang ayah. Menanyakan orang-orang itu apa yang enak dan khas dari produk tersebut. Menanyakan pula hal apa saja yang masih kurang dan harus terus dikembangkan.
ADVERTISEMENT
Puding dengan tekstur yang halus jadi poin unik produk. Eugenie meyakini orang Indonesia suka dengan puding, tapi di sini, belum ada merek atau brand yang melekat kuat dengan produk puding. Nah, kekosongan ruang pada bisnis puding itulah yang kemudian dimanfaatkan oleh Eugenie dan Adrian.
Eugenie Patricia Agus, Pendiri Puyo. (Foto: Charles Brouwson/kumparan)
Proses riset yang mereka lakukan tidak memakan waktu lama. Mereka tak mau ini berhenti di ide saja. Mereka juga berpacu dengan waktu untuk mengeksekusi, merealisasikan, dan akhirnya menjual produk makanan penutup dengan merek Puyo Silky Dessert pada 10 Juni 2013. Penjualan perdana makanan Puyo ini dilakukan lewat media sosial Instagram.
Peluncuran produk puding dengan tekstur yang lembut ini dibarengi dengan semangat menyajikan rasa enak yang konsisten, berkualitas, dan harga yang terjangkau.
Puyo Silky Desserts. (Foto: Dok. Puyo)
Sambutan publik atas produk Puyo ternyata cukup positif. Adrian, yang merupakan mahasiswa jurusan Entreneurship and Innovation di Swinburne University of Technology, Australia, mengambil langkah untuk mengikuti bazar di sejumlah pusat keramaian dan pusat perbelanjaan. Setiap ada kerumunan dan antrean membeli Puyo, selalu didokumentasikan sebagai portofolio dan kisah sukses di awal merintis.
ADVERTISEMENT
Walau masih berusia belia, mereka punya cita-cita tinggi untuk bisa menjual produk di mal, bukan hanya di level Instagram.
"Jadi, di awal banget kita bikin Puyo, Adrian dan aku punya impian, kita tidak hanya jadi brand yang jualnya di Instagram. Kita mau jadi brand yang bersaing dengan brand internasional yang masuk ke dalam mal," ujar Eugenie yang merupakan lulusan ilmu bisnis di Universitas Prasetya Mulya, Jakarta.
Eugenie Patricia Agus & Adrian Christopher Agus. (Foto: Dok. Puyo)
Setelah sukses mengikuti bazar di sejumlah mal, Eugenie serta Adrian memberanikan diri untuk maju memberi proposal ke pengelola mal. Mereka berupaya meyakini pengelola bahwa Puyo sangat laris ketika ikut bazar dan yakin bisa membawa traffic ke mal tersebut. Ini dijadikan daya tawar mereka.
Di 2013 pula, akhirnya Puyo berhasil membuka outlet perdananya di mal Living World Alam Sutera, Tangerang, dan setelah itu Gandaria City, Jakarta.
ADVERTISEMENT
Ini Bukan Puding, tapi Silky Dessert
Cikal-bakal Puyo memang puding. Tapi, Eugenie tidak mau jika Puyo disebut puding. Dia bilang tekstur Puyo berbeda dengan puding lain. Puyo dibangun dengan citarasa yang lembut dan dia menolak jika Puyo disebut puding.
"Kita enggak mau orang pas ngomong, "Ini apa?" Lalu dijawab, 'Puding!' Karena orang sudah tahu rasa puding atau tekstur puding itu kira-kira seperti apa. Yang kita lakukan, ya, ini adalah silky dessert. Beda dari desser-dessert lain," jelasnya kepada kumparan di event Maker Fest 2018 Jakarta.
Kelembutan Puyo itu juga dijaga pada kualitas rasanya. Eugenie dan Adrian menyeimbangkannya dengan menyajikan rasa yang tidak terlalu, rendah kalori, serta kaya serat. Dia mengklaim satu cup Puyo hanya mengandung 120 kalori.
ADVERTISEMENT
Agar menjaganya bisa dikonsumsi oleh anak-anak hingga orang tua, Puyo pun diolah tanpa bahan pengawet.
Puyo Silky Desserts. (Foto: Dok. Puyo)
Selain menjaga kualitas, Puyo kini juga terus berupaya melakukan inovasi pada produk dan pemasaran. Sejauh ini mereka telah memiliki makanan penutup yang disebut silky desserts serta silky drinks, yang juga mengutamakan kelembutan serta rasa yang tidak terlalu manis.
Inovasi lain yang mereka lakukan bisa dilihat dari sisi pemasaran, di mana mereka membangun outlet dengan desain minimalis namun kaya warna. Langkah ini, menurut Eugenie, sukses membuat outlet Puyo meraih perhatian di tengah banyaknya outlet di mal.
Sekarang, dari kantor pusatnya yang disebut Puyo HQ di Tangerang, perusahaan ini telah menjual produknya di 43 outlet yang menyebar di Jabodetabek, Bandung, dan Karawang. Setelah lima tahun beroperasi, Puyo telah memiliki lebih dari 270 orang karyawan.
ADVERTISEMENT