Faisal Basri Singgung Lagi Hilirisasi Nikel Cuma Untungkan China

5 Februari 2024 17:51 WIB
ยท
waktu baca 2 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ekonom Faisal Basri dalam program Diptalk kumparan. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ekonom Faisal Basri dalam program Diptalk kumparan. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Ekonom senior INDEF Faisal Basri menyinggung kembali program hilirisasi kebanggaan pemerintah Presiden Jokowi. Menurutnya, konsep hilirisasi tersebut sesat dan hanya menguntungkan China.
ADVERTISEMENT
Faisal menyebutkan, hilirisasi yang digencarkan hanya gimmick dan tidak membahas kebijakan industrialisasi. Konsep yang sesat tersebut termasuk larangan ekspor bijih nikel.
"Hilirisasi itu adalah konsep yang sesat, ndak ada yang bilang sesat itu, ndak ada. Sungguh konsep yang sesat itu," tegasnya saat Diskusi Publik Tanggapan INDEF terhadap Debat Pemilu Kelima, Senin (5/2).
Dia menilai, larangan ekspor nikel membuat pasokan nikel dunia menyusut dan menyebabkan harganya melesat. Hal ini membuat wajar perusahaan kendaraan listrik mencari alternatif nikel untuk bahan baku baterai.
Selain Lithium Ferro Phosphate (LFP) yang digencarkan di China dan sudah dipakai oleh Tesla, Faisal mengungkapkan ada alternatif bahan baku lain yaitu sodium fosfat.
"Kebijakan larang-melarang itu adalah kebijakan paling biadab, secara teori segala macam, export ban kerugian bagi negara itu paling besar, yang dirugikan adalah produsen," tegas Faisal.
ADVERTISEMENT
Selain itu, pemerintah membuka karpet merah investasi smelter nikel dari China besar-besaran. Faisal mengatakan, salah satunya dengan membolehkan smelter menggunakan energi listrik dari PLTU, dengan harga batu bara disubsidi sehingga lebih murah dari harga pasar yakni USD 70 per ton.
Tidak hanya itu, smelter yang mengolah bijih nikel menjadi feronikel, 99 persen produknya diekspor ke China untuk diolah menjadi sendok atau garpu, yang kemudian diekspor ke Indonesia.
"Untung cuma seuprit. Subsidinya lebih banyak yang dinikmati smelter. Oleh karena itu harus dihentikan," tuturnya.
Faisal melanjutkan, karena mayoritas pengusaha smelter berasal dari China, maka keuntungan dan nilai tambah yang diraih konsep hilirisasi tersebut masuk ke kantong China.
"Pengusaha 100 persen Tiongkok, ya labanya 100 persen Tiongkok orang perusahaan punya dia. Teknologinya 100 persen Tiongkok, patent fee-nya 100 persen Tiongkok. Modalnya dari Bank China 100 persen, bunganya lari ke China," terang dia.
ADVERTISEMENT
Dia melanjutkan, industri smelter yang padat modal tersebut terlalu timpang dalam memberikan upah kepada pekerja lokal dan asing, tak tanggung-tanggung bedanya bisa puluhan juta.
"Pekerja Indonesia gajinya rata-rata Rp 7 juta, pekerja China Rp 12-54 juta. Anda hitung 95 persen, nilai tambah itu lari ke China. Indonesia cuma 5 persen tobat, dek, tobat," pungkas Faisal.