Fakta-fakta Ancaman Krisis Pangan Itu Nyata

23 Mei 2020 7:25 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sejumlah warga antre sembako di  gedung Baznas Kabupaten Bogor, Cibinong, Bogor, Jawa Barat. Foto: ANTARA FOTO / Yulius Satria Wijaya
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah warga antre sembako di gedung Baznas Kabupaten Bogor, Cibinong, Bogor, Jawa Barat. Foto: ANTARA FOTO / Yulius Satria Wijaya
ADVERTISEMENT
Di tengah belum selesainya penanganan pandemi virus corona, ada ancaman lainnya yang mesti dihadapi Indonesia. Masalah tersebut tak lain adalah ancaman krisis pangan.
ADVERTISEMENT
Berbagai pihak pun, mulai dari ahli pangan hingga pengamat ekonomi, memperingatkan adanya fakta-fakta yang berisiko memunculkan krisis tersebut. Mulai dari ketersediaan stok beras, ketergantungan impor sayur dan buah dari China, sampai pada langkanya stok gula.
Terkait adanya ancaman ini, Presiden Jokowi pun sudah mewanti-wanti seluruh jajarannya. Ia meminta para menteri terkait menghitung stok beras di dalam negeri.
Berikut fakta-fakta terkait ancaman pangan:
Dua pekerja merapikan beras yang telah dimasukkan ke dalam karung di gudang Bulog Subdivre Gorontalo di Talumolo, Kota Gorontalo, Gorontalo. Foto: ANTARA FOTO/Adiwinata Solihin
Pemerintah Diminta Antisipasi Tak Adanya Stok Beras November 2020
Ahli Pangan dan Gizi Drajat Martianto mengharapkan pihak-pihak terkait menyiapkan segala antisipasinya. Drajat merasa kebutuhan pangan saat ini memang masih bisa dicukupi, namun harus dipikirkan juga seandainya krisis pangan benar-benar terjadi.
“Kalau sekarang tidak mulai lagi dengan pangan lokal maka akan terlambat. Setelah November nanti iya kalau beras ada, kalau tidak ada kita mau makan apa?” kata Drajat saat diskusi secara virtual, Jumat (22/5).
ADVERTISEMENT
Ketergantungan Impor Sayur dan Buah dari China
Buah jeruk impor di momen menjelang Imlek di Pancoran Glodok, Minggu (3/1). Foto: Nurul Nur Azizah/kumparan
Ekonom senior INDEF Faisal Basri menilai, kurangnya pasokan pangan terlihat dari impor yang terus dilakukan untuk beberapa komoditas pangan. Menurutnya, impor dari China saat ini cukup besar, bahkan untuk komoditas di luar bahan pokok seperti sayur dan buah.
"Fenomenanya impor buah dari China besar, impor sayur juga besar. Ternyata ketergantungan dengan China besar, hampir 67,5 persen sayur yang ada di Indonesia impor dari China," kata Faisal dalam Diskusi Pangan BEM KM IPB, Jumat (22/5).
Impor Tak Bisa Jadi Solusi
Sejumlah pekerja menurunkan beras impor asal Vietnam dari kapal di Pelabuhan Indah Kiat, di Merak, Cilegon, Banten. Foto: ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman
Ahli Kebijakan Pangan Khudori mengatakan, pemerintah harus menyiapkan segala kemungkinan untuk menghadapi masalah krisis pangan ini. Hal pertama yang mesti diselesaikan yakni ketergantungan terhadap impor.
ADVERTISEMENT
"Banyak negara yang menggantungkan pangan dari impor, termasuk kita ya beberapa komoditas masih tergantung impor. Sebetulnya dalam situasi krisis itu, tidak mudah kalau sepenuhnya menggantungkan impor,” kata Khudori saat diskusi secara virtual, Jumat (22/5).
7 Faktor Indonesia Gagal Berdaulat Pangan saat Pandemi
Seorang petani menyulam tanaman tomatnya yang mati di Kelurahan Bayaoge, Palu, Sulawesi Tengah, Selassa (5/5) Foto: ANTARAFOTO/Basri Marzuki
Sementara itu, Kepala Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (PSP3) Institut Pertanian Bogor Sofyan Sjaf menilai, Indonesia gagal menciptakan kedaulatan pangan bagi rakyatnya. Ada tujuh faktor yang mendukung argumentasinya terkait ancaman krisis pangan di tengah pandemi.
Faktor pertama yakni tidak dikelola dengan baiknya desa-desa yang merupakan titik produksi dan reproduksi pangan. Hal itu didukung masalah kedua yakni banyak generasi muda pedesaan tak tertarik mengurus pertanian.
Adapun faktor selanjutnya yakni pelemahan subjek dan objek pangan (reforma agraria), mandeknya pendekatan pembaruan pertanian, hingga alokasi dana desa yang tidak tepat sasaran. Kesalahan orientasi lembaga ekonomi rakyat seperti Bumdes serta permasalahan ketidakakuratan data desa juga menjadi faktor lainnya menurut Sofyan.
ADVERTISEMENT
Saat Beli Gula Seperti Beli Narkoba
Ilustrasi gula pasir. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Sebelum Jokowi memperingatkan ancaman krisis pangan, sebelum ditemukan kasus positif virus corona di Indonesia, masyarakat sudah dipusingkan oleh kelangkaan dan mahalnya harga gula.
Gula jadi barang langka sejak awal 2020, mulai dari kalangan industri pengguna gula mentah (raw sugar) dan gula rafinasi, hingga konsumen rumah tangga pengguna gula pasir, mengeluhkan kelangkaan gula. Hukum pasar pun berlaku, barang langka harganya pasti melambung.
Gula pasir eceran misalnya, harganya masih berkisar Rp 19.000 hingga Rp 20.000 per kilogram (kg). Sudah mahal, masyarakat juga mengeluhkan sulitnya mendapatkan gula pasir di pasaran. Bahkan di mini market yang populer dan banyak dijumpai di permukiman warga, gula tak lagi tersedia di rak atau display toko. Pembeli pun harus bisik-bisik jika ingin membeli gula di toko ritel, yang ternyata stoknya ada dan disimpan di gudang.
ADVERTISEMENT
Jokowi Minta Stok Beras Dihitung
Presiden Joko Widodo melihat beras yang sudah dikemas di Gudang Bulog Kelapa Gading. Foto: Dok. Biro Pers Media dan Informasi Sekretariat Presiden
Presiden Jokowi sempat meminta agar para menteri terkait segera menghitung stok beras di dalam negeri. Sebab, Jokowi menuturkan, berdasarkan laporan organisasi pangan dunia, Food and Agriculture Organization (FAO), pandemi COVID-19 dapat menyebabkan krisis pangan dunia.
"Saya ingin menekankan yang pertama pastikan ketersediaan bahan pokok. Hitung yang betul berapa produksi beras kita. Kemudian perkiraan produksi beras pada saat masuk musim kemarau," kata Jokowi saat memimpin ratas 'Antisipasi Kebutuhan Pokok' secara virtual, Selasa (21/4).
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona.
*****
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!