Food Estate, Proyek Pangan di Era Jokowi yang Dinilai Gagal

21 Januari 2024 10:15 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
27
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Joko Widodo (kiri) didampingi Menhan Prabowo Subianto meninjau lahan yang akan dijadikan Food Estate atau lumbung pangan baru di Kapuas, Kalteng.  Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo (kiri) didampingi Menhan Prabowo Subianto meninjau lahan yang akan dijadikan Food Estate atau lumbung pangan baru di Kapuas, Kalteng. Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Food estate atau lumbung pangan diprediksi bakal menjadi topik yang dibicarakan saat debat cawapres pada Minggu (21/01). Tema debat keempat Pilpres 2024 terdiri dari pembangunan berkelanjutan, sumber daya alam, lingkungan hidup, energi, pangan, agraria, masyarakat adat dan desa.
ADVERTISEMENT
Dalam sejumlah kesempatan, food estate kerap dianggap proyek gagal oleh mereka yang berseberangan dengan pemerintah. Pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar maupun Ganjar Pranowo-Mahfud MD pun tercatat mengkritik proyek yang digadang-gadang oleh Menhan Prabowo Subianto.
Lantas, seperti apa gambaran food estate sebenarnya?

Bermula dari Ancaman Paceklik

Food estate awalnya merupakan respons Presiden Jokowi terhadap ancaman paceklik akibat kekeringan dan pandemi COVID-19 berkepanjangan.
Jokowi kemudian mencanangkan program food estate sebagai salah satu Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024. Program ini meliputi pencetakan ratusan ribu hektare sawah maupun kebun baru yang tersebar di sejumlah wilayah.
Dilansir dari situs setkab.go.id, program food estate dikembangkan di beberapa daerah seperti Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, dan Nusa Tenggara Timur.
Presiden Joko Widodo meninjau ladang jagung di Food Estate, Keerom, Papua, Kamis (6/7/2023). Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden
Program food estate disebut merupakan program pemerintah yang memiliki konsep pengembangan pangan yang dilakukan secara terintegrasi. Pengembangan kawasan food estate ditujukan sebagai perluasan lahan untuk meningkatkan cadangan pangan nasional.
ADVERTISEMENT
Pada April 2020, Jokowi berencana menyediakan anggaran Rp 6 triliun untuk membuat food estate di Kalimantan Tengah. Lokasinya diproyeksikan berada di lahan eks Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) satu juta hektare di Kalimantan Tengah. PLG sendiri merupakan proyek lumbung pangan yang berakhir gagal era Soeharto.
Kemudian pada 7 Juli 2020, Jokowi menunjuk Kementerian Pertahanan di bawah Prabowo Subianto sebagai leading sector dalam memperkuat food estate. Kala itu, food estate digadang-gadang menjadi logistik cadangan strategis bagi Indonesia yang nanti ditangani oleh prajurit TNI.
Berdasarkan Nota Keuangan Tahun Anggaran 2024, kebijakan anggaran ketahanan pangan pada 2024 mencapai Rp 108,8 triliun. Anggaran juga meliputi pengembangan kawasan food estate di kawasan Kalimantan Tengah, Sumatra Utara, dan NTT. Namun tak dijelaskan berapa porsi untuk food estate tersebut.
ADVERTISEMENT
Selain untuk food estate, anggaran sebesar itu juga akan difokuskan untuk untuk meningkatkan produk domestik, penguatan kelembagaan petani melalui korporasi petani,hingga percepatan pembangunan dan rehabilitasi infrastruktur pangan seperti jaringan irigasi dan bendungan.
Foto udara jaringan irigasi di kawasan lumbung pangan nasional 'food estate' Dadahup di Kabupaten Kapuas, Desa Bentuk Jaya, Kalimantan Tengah, Rabu (21/4). Foto: Makna Zaezar/Antara Foto

Tuai Banyak Masalah

Persoalannya, niat baik tersebut pada akhirnya menuai banyak masalah. Dalam laporan Pantau Gambut berjudul Proyek Food Estate Kalimantan Tengah Setelah 2 Tahun Berlalu, ada 4 masalah besar yang membuat proyek Food Estate dinyatakan gagal. Laporan tersebut dirilis pada 15 Maret 2022.
1. Tenggelamnya eskavator di tanah gambut
Ketika dilakukan pengecekan melalui citra satelit di Desa Mantai Hulu, Pantau Gambut menemukan lahan hutan seluas ±237 hektare di sekitar titik verifikasi lokasi ekstensifikasi sudah mengalami pembukaan lahan.
ADVERTISEMENT
Di lokasi yang sama, Pantau Gambut juga mendapati adanya alat berat eskavator yang tenggelam ke dalam tanah gambut yang ada di sekitar area ekstensifikasi karena karakteristik tanah gambut yang tidak mampu menopang berat eskavator itu sendiri.
Aksi Greenpeace soal Food Estate. Foto: Dok. Greenpeace
2. Gagalnya hasil panen
Berdasarkan catatan Pantau Gambut, panen padi idealnya menghasilkan minimal 4 ton/hektare. Namun, penyataan tersebut kontras dengan klaim Kementerian Pertanian bahwa produktivitas dari kegiatan intensifikasi sawah tidak produktif di Kalimantan Tengah mencapai 3,5 ton gabah kering giling (GKG)/hektare pada tahun 2021.
Di Desa Tewai Baru, umbi singkong yang dihasilkan berukuran kecil menyerupai wortel, berwarna kuning seperti kunyit, dan rasanya pahit. Menurut sebuah penelitian, tulis Pantau Gambut, rasa pahit pada singkong mengindikasikan adanya kandungan sianida yang tinggi.
Umbi singkong hasil uji penanaman selama 1 tahun Foto: Dok. WALHI
3. Penghamburan anggaran pemerintah
ADVERTISEMENT
Di Desa Henda dan Desa Pilang, Pantau Gambut mencatat bantuan pipa buka-tutup air tidak bisa dimanfaatkan oleh petani lantaran pembuatan pipa tidak diikuti oleh biaya perawatan dan penyuluhan cara penggunaannya, sehingga petani kesulitan menggunakan alat tersebut.
Padahal, dana APBN sebesar Rp 1,5 triliun dialokasikan untuk pelaksanaan Food Estate sepanjang tahun 2020- 2021. Sementara Rp 497,2 miliar di antaranya digunakan untuk perbaikan irigasi termasuk pengadaan pipa air.
4. Deforestasi
Rencana pelaksanaan Food Estate tahap I tahun 2020-2021 di Kalimantan Tengah seluas 31.000 hektare dibagi masing-masing seluas 10.000 hektare di tiga Kabupaten yaitu Pulang Pisau, Kapuas, dan Gunung Mas.
Menurut Pantau Gambut, pemantauan melalui citra satelit menunjukkan adanya deforestasi yaitu area seluas 700 hektare di Desa Tewai Baru menjadi area ekstensifikasi terluas.
ADVERTISEMENT
Ditinjau dari sudut pandang bentang lahan, Desa Tewai Baru merupakan bagian dari lanskap ekoregion dataran fluvial kalimantan dengan jenis tanah aluvium yang bertekstur pasir. Karakteristik jenis tanah ini berpotensi tinggi sebagai pengatur tata air karena teksturnya yang mudah menyerap dan mengeluarkan air.
Namun, lapisan tanah yang gembur mudah tererosi dan menyebabkan runoff membawa material tanah yang menyebabkan sedimentasi saluran air, mempersempit bahkan menutup saluran air dan menyebabkan banjir di area sekitarnya.
Perubahan penutupan lahan di Desa Tewai Baru dari November 2020 sampai Desember 2022. Foto: Dok. WALHI

Lahan Gambut Bukan Solusi

Berdasarkan catatan Pantau Gambut, mengubah fungsi lahan gambut menjadi lahan pertanian memang menimbulkan banyak masalah. Sebab, alih fungsinya biasanya disertai dengan tindakan drainase melalui pembuatan kanal-kanal untuk mengalirkan air di dalam gambut.
Nah, selain memerlukan usaha dan biaya yang sangat besar, hal tersebut juga akan membuat gambut menjadi kering dan rawan terbakar hingga mengeluarkan emisi karbon. Selain itu, Pantau Gambut juga mencatat hal tersebut rentan mengekspos sedimen pirit yang membuat tanah tercemar.
Petugas Balai Penanganan dan Penegakkan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BPPHLHK) Wilaya Sumatera Seksi III Palembang menyegel lahan yang terbakar di Sepucuk, Pedamaran, Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, Senin (18/9). Foto: ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
Pirit adalah mineral tanah (kandungan FeS2) yang sering ditemukan di lahan rawa dan akan teroksidasi menjadi senyawa beracun dengan kandungan besi dan alumunium apabila bertemu dengan udara (oksigen).
ADVERTISEMENT
Pirit yang terekspos akan membuat tanah sangat masam (ph<3,5) sehingga sulit ditanami. Pirit juga dapat larut dan mencemari air. Pantau Gambut mencontohkan bahwa pembuatan kanal sepanjang 187 km pada masa Proyek PLG menyebabkan kematian ikan secara massal di Sungai Mangkatip dan anak-anak sungai Barito pada tahun 1997.

Idenya Sudah Ada dari Era Soeharto

ADVERTISEMENT
Jauh sebelum ada di era Presiden Jokowi, proyek food estate sudah digagas di era Presiden Soeharto dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Proyek tersebut tak lepas dari mimpi mendorong peningkatan hasil produksi beras hingga jagung.
Di era Soeharto, misalnya, muncul program serupa food estate pada tahun 1970 di Sumatera Selatan. Namun, proyek tersebut akhirnya dihentikan lantaran dianggap gagal dan merusak lingkungan.
Presiden Soeharto melambaikan tangan saat ia tiba pada pertemuan puncak kelompok Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Museum Antropologi Universitas British Columbia di Vancouver, Kanada, pada 25 November 1997. Foto: JOHN GIBSON / AFP
Pada 1995, rezim Orde Baru kembali menghidupkan proyek serupa melalui Keppres nomor 82 tahun 1995. Kala itu, pemerintahan Soeharto menamainya dengan Proyek Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektare.
ADVERTISEMENT
Proyek cetak sawah baru tersebut dikerjakan di Kabupaten Kapuas dengan luas 3 ribu hektare. Selain menyiapkan lahan, Soeharto juga membangun pemukiman bagi 64 ribu transmigran asal Jawa untuk menjadi petani penggarap.
Meski begitu, PLG yang digagas Soeharto itu hanya bertahan tiga tahun. Sebab, proyek tersebut akhirnya dinyatakan gagal dengan dikeluarkannya Keppres Nomor 33 Tahun 1998 di Era Presiden BJ Habibie. Kegagalan PLG tak lepas dari kurangnya kajian sosiologis dan ekologis terhadap ekosistem gambut dan masyarakat lokal.
SBY di Bale Tumaritis, Kecamatan Cianjur, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Rabu (10/1/2024). Foto: Dok. Istimewa
Di era SBY, program serupa kembali muncul pada 2008 dengan nama Merauke Integrated Energi Estate atau MIFEE. Proyek tersebut tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi Tahun 2008-2009 dan Inpres Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010.
ADVERTISEMENT
Kala itu, pembukaan lahan untuk cetak sawah dalam program tersebut dilaksanakan di Merauke, Papua. Luasan hutan yang dibuka mencapai 1,2 juta hektar. Tujuan dari MIFEE adalah untuk memperkuat cadangan pangan nasional dan menjaga ketahanan pangan nasional. Meski begitu, proyek ini pun pada akhirnya gagal lantaran membuat lingkungan menjadi rusak.
Pada 2011, SBY kembali membangun food estate. Kali ini, proyek tersebut dibangun di Bulungan, Kalimantan Utara, dengan target 30.000 hektare sawah. Kemudian pada 2013, SBY juga membangun Food Estate Ketapang, Kalimantan Barat, dengan target mencetak 100.000 hektare sawah. Namun, nasib dua proyek tersebut juga tidak menghasilkan kemajuan dan justru merusak lingkungan.