Food Estate Sudah Digaungkan Sejak Era Soeharto, Sampai Kini Dianggap Gagal

23 Januari 2024 13:10 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Joko Widodo meninjau ladang jagung di Food Estate, Keerom, Papua, Kamis (6/7/2023).  Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo meninjau ladang jagung di Food Estate, Keerom, Papua, Kamis (6/7/2023). Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden
ADVERTISEMENT
Proyek lumbung pangan atau food estate sudah digaungkan sejak tahun 1996 era pemerintahan Presiden Soeharto. Tercatat beberapa presiden setelah Soeharto mencanangkan program serupa, mulai dari SBY, kemudian Jokowi.
ADVERTISEMENT
Dengan banyaknya pengalaman menggarap proyek lumbung pangan itu, nampaknya belum cukup membuat pemerintah mendapat rapor hijau, alias dianggap sukses.
Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa, menjelaskan proyek food estate sudah dicanangkan sejak era Presiden Soeharto. Dwi yang pernah terlibat sebagai tim ahli dalam pengembangan food estate menilai proyek ini selalu diulang di berbagai rezim pemerintahan, namun hasilnya tetap gagal.
"Proyek ini sudah diinisasi 1996, lalu dimulai 1998 melalui pengiriman 15 ribu transmigran ke Blok A. Lalu terjadi bencana lingkungan tahun 1999, proyek tersebut dihentikan oleh Badan Perencanaan Nasional. Dan direhabilitasi, keluar biaya Rp 3 triliun untuk rehabilitasi lingkungan tersebut," kata Dwi kepada kumparan.
Dari catatan kumparan, di era Soeharto muncul program serupa food estate pada tahun 1970 di Sumatera Selatan. Namun, proyek tersebut akhirnya dihentikan lantaran dianggap gagal dan merusak lingkungan. Pada 1995, rezim Orde Baru kembali menghidupkan proyek serupa melalui Keppres nomor 82 tahun 1995. Kala itu, pemerintahan Soeharto menamainya dengan Proyek Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektare.
ADVERTISEMENT
Proyek food estate ala Soeharto itu dibangun di Kabupaten Kapuas dengan luas 3 ribu hektare. Soeharto di sana juga membangun pemukiman bagi 64 ribu transmigran asal Jawa untuk tenaga kerja yang menggarap lahan pertanian tersebut.
Selang 3 tahun, proyek tersebut dinyatakan gagal dengan dikeluarkannya Keppres Nomor 33 Tahun 1998 di Era Presiden BJ Habibie.
Tanaman jagung di dalam kantung plastik polibag di area proyek food estate Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Foto: Walhi Kalteng
"Lalu di era SBY ada Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), seluas 1,23 juta hektare. Konsepnya dijalankan dengan bagi-bagi lahan ke 37 investor. Hasilnya gagal total, enggak berbekas juga," ujar Dwi.
Lalu, food estate era SBY sempat ekspansi. SBY kembali membangun food estate pada 2011 di Bulungan Kalimantan Utara dengan target 30 ribu hektare lahan pertanian. Dan pada 2013 juta dibuka di Ketapang, Kalimantan Barat dengan target luas 100 ribu hektare sawah.
ADVERTISEMENT
"Yang Ketapang menyebabkan 1 Direktur Utama BUMN Pangan (waktu itu) masuk penjara. Lalu hasilnya bagaimana? Memang ada laporan resmi sudah tercetak lahan kita-kira 1.000 hektare. Tapi ketika ditinjau ke lapangan, praktis enggak ada. Hanya berapa belas hektare," ungkap Dwi.
Rezim berganti. Pada awal periodenya di tahun 2015, Presiden Jokowi kembali mengembangkan lumbung pangan untuk komoditas padi di Merauke dengan target luas lahan 1,2 juta hektare. Untuk tahap awal, waktu itu Jokowi merencanakan akan disiapkan 10 ribu hektare dahulu.
"Apakah ada hasilnya? Hasilnya nol besar. Tidak ada satupun bekas rice estate di Merauke yang 1,2 juta hektare itu," kata Dwi.
Kemudian pada tahun 2020, Jokowi kembali membangun food estate di Kalimantan Tengah, termasuk di Gunung Mas. Dwi mengatakan hasilnya tetap sama, food estate yang dibangun Jokowi itu juga gagal.
ADVERTISEMENT
Gagalnya food estate yang dicanangkan pemerintah sejak Soeharto sampai Jokowi itu menurutnya jadi salah satu faktor kenapa produktivitas pertanian Indonesia tidak bisa meningkat seperti yang diharapkan.
"Dan bagaimana ceritanya? Gagal total juga. Karena gagal semua, sudah barang tentu tidak signifikan, tidak ada perannya sama sekali untuk meningkatkan produksi," tutur Dwi.